Minggu, 17 Juli 2011

Terapi Oksigen Pada Anestesi

A.    Latar Belakang
Seseorang tidak dapat hidup tanpa menghirup oksigen. Begitu esensialnya unsur ini bagi kehidupan sehingga apabila 10 detik saja otak manusia tidak mendapatkan oksigen, maka yang akan terjadi kemudian adalah penurunan kesadaran dan apabila terus berlanjut, otak akan mengalami kerusakan yang lebih berat dan irreversible. Tak hanya untuk bernafas dan memepertahankan kehidupan, oksigen juga sangat dibutuhkan untukmetaboloisme tubuh. Oksigen malkah bisa menjadisarana untuk mengatasi berbagai macam penyakit (admin, 2008).


Dengan penemuan yang sangat penting mengenai molekul oksigen oleh Joseph Priestley pada tahun 1775 dan bukti adanya pertukaran gas pada proses pernafasan oleh Lavoisier, oksigen menjadi suatu cara pengobatan dalam perawatan pasien. Sebelum tahun 1920 suplementasi oksigen dievaluasi oleh Baruch dkk dan akhirnya pada tahun 1920 ditetapkan suatu konsep bahwa oksigen dapat dipergunakan sebagai terapi. Sejak itu efek hipoksia lebih dimengerti dan pemberian oksigen pada pasien penyakit paru membawa dampak meningkatnya jumlah perawatan pasien (Pujdo, 2005).
Dua penelitian dasar di awal 1960an memperlihatkan adanya bukti membaiknya kualitas hidup pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang mendapat suplemen oksigen. Pada studi The Nocturnal Oxygen Therapy Trial (NOTT), pemberian oksigen 12 jam atau 24 jam sehari selama 6 bulan dapat memperbaiki keadaan umum, kecepatan motorik, dan kekuatan genggaman, namun tidak memperbaiki emosional mereka atau kualitas hidup mereka. Namun penelitian lain memperlihatkan bahwa pemberian oksigen pada pasien-pasien hipoksemia, dapat memperbaiki harapan hidup, hemodinamik paru, dan kapasitas latihan. Keuntungan lain pemberian oksigen pada beberapa penelitian diantaranya dapat memperbaiki kor pulmonal, meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi neuropsikiatrik dan pencapaian latihan, mengurangi hipertensi pulmonal, dan memperbaiki metabolisme otot (Sudoyo, Aru, dkk, 2006).
Komposisi udara kering ialah 20,98% O2, 0,04% CO2, 78,6% N2 dan 0,92% unsur inert lainnya, seperti argon dan helium. Tekanan barometer (PB) di permukaan laut ialah 760 mmHg (satu atmosfer). Dengan demikian, tekanan parsial (dinyatakan dengan lambang P). O2 udara kering di permukaan laut adalah 0,21 x 760, atau 160 mmHg. Tekanan parsial N2 dan gas inert lainnya 0,79 x 760, atau 600 mmHg; dan PCO2 ialah 0,0004 x 760 atau 0,3 mmHg. Terdapatnya uap air dalam udara pada berbagai iklim umumnya akan menurunkan persen volume masing masing gas, sehingga juga sedikit mengurangi tekanan parsial gas gas-tersebut. Udara yang seimbang dengan air jenuh dengan uap air, dan udara inspirasi akan jenuh dengan uap air saat udara tersebut mencapai paru-paru (Ganong, 2003).


A.    Rongga Toraks
Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak dalam rongga dada atau toraks. Mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar memisahkan paru tersebut. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar. Pembuluh darah paru dan bronchial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru. Paru kanan lebih besar dari paru kiri dan dibagi menjadi tiga lobus oleh fisura interlobaris. Paru kiri dibagi menjadi dua lobus.
Anatomi Paru - Paru Normal


Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi 10 segmen sedangkan paru kiri dibagi menjadi 9. Proses patologis seperti atelektasis dan pneumonia seringkali hanya terbatas pada satu lobus dan segmen saja. Suatu lapisan tipis kontinu dan jaringan elastis, dikenal sebagai pleura, melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi setiap paru (pleura viseralis). Di antara pleura parietalis dan pleura viseralis terdapat suatu lapisan tipis cairan pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama pernafasan dan untuk mencegah pemisahan toraks dan paru. Tidak ada ruangan yang sesungguhnya memisahkan kedua pleura tersebut sehingga apa yang disebut dengan rongga pleura atau kavitas pleura hanyalah suatu ruangan potensial. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfer, sehingga mencegah kolaps paru. Bila terserang penyakit, pleura mungkin mengalami peradangan, atau udara ataupun cairan dapat masuk ke dalam rongga pleura, menyebabkan paru tertekan atau kolaps.
Ada tiga faktor yang mempertahankan tekanan negatif yang normal ini. Pertama, jaringan elastic paru memberikan kekuatan kontinu yang cenderung menarik paru jauh dari rangka toraks. Setelah lahir, paru cenderung mengerut ke ukuran aslinya yang lebih kecil daripada bentuknya sebelum mengembang. Tetapi, permukaan pleura viseralis dan pleura parietalis yang saling menempel itu tidak dapat dipisahkan, sehingga tetap ada kekuatan kontinu yang cenderung memisahkannya. Kekuatan ini dikenal sebagai tekanan negatif dari ruang pleura. Tekanan intrapleura secara terus-menerus bervariasi sepanjang siklus pernafasan, tetapi selalu negatif.
Faktor utama kedua dalam mempertahankan tekanan negatif intrapleura adalah kekuatan osmotik yang terdapat di seluruh membrane pleura. Cairan dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam pleura parietalis ke ruang pleura dan kemudian diserap kembali melalui pleura viseralis. Pergerakan cairan pleura dianggap mengikuti hukum Starling tentang pertukaran transkapiler; yaitu, pergerakan cairan bergantung pada selisih perbedaan antara tekanan hidrostatik darah yang cenderung mendorong cairan keluar dan tekanan onkotik dari protein plasma yang cenderung menahan cairan agar tetap di dalam. Selisih perbedaan absorbsi cairan pleura melalui pleura viseralis lebih besar daripada selisih perbedaan pembentukan cairan oleh pleura parietalis sehingga pada ruang pleura dalam keadaan normal hanya terdapat beberapa milliliter cairan.
Faktor ketiga yang mendukung tekanan negatif intrapleura adalah kekuatan pompa limfatik. Sejumlah kecil protein secara normal memasuki ruang pleura tapi akan dikeluarkan oleh sistem limfatik dalam pleura parietalis; terkumpulnya protein di dalam ruang intrapleura akan mengacaukan keseimbangan osmotik normal tanpa pengeluaran limfatik.
Ketiga faktor ini kemudian, mengatur dan mempertahankan tekanan negatif intrapleura normal.

B.     Kontrol Pernafasan
Terdapat beberapa mekanisme yang berperan membawa udara ke dalam paru sehingga pertukaran gas dapat berlangsung. Fungsi mekanis pergerakan udara masuk dan keluar dari paru disebut ventilasi dan mekanisme ini dilaksanakan oleh sejumlah komponen yang saling berinteraksi. Komponen yang berperan penting adalah pompa yang bergerak maju mundur, disebut pompa pernafasan. Pompa ini mempunyai dua komponen volume-elastis: paru itu sendiri dan dinding yang mengelilingi paru. Dinding terdiri dari rangka dan dan jaringan rangka toraks, serta diafragma, isi abdomen dan dinding abdomen. Otot-otot pernafasan yang merupakan bagian dinding toraks merupakan sumber kekuatan untuk menghembus pompa. Diafragma (dibantu oleh otot-otot yang dapat mengangkat tulang iga dan sternum) merupakan otot utama yang ikut berperan dalam peningkatan volume paru dan rangka toraks selama inspirasi; ekspirasi merupakan suatu proses pasif pada pernafasan tenang.
Otot-otot pernafasan diatur oleh pusat pernafasan yang terdiri dari neuron dan reseptor pada pons dan medulla oblongata. Pusat pernafasan merupakan bagian sistem saraf yang mengatur semua aspek pernafasan. Faktor utama pada pengaturan pernafasan adalah respon dari pusat kemoreseptor dalam pusat pernafasan terhadap tekanan parsial (tegangan) karbon diokasida (PaCO2) dan pH darah arteri. Peningkatan PaCO2 atau penururnan pH merangsang pernafasan.
Penurunan tekanan parsial O2 dalam darah arteri PaO2 dapat juga merangsang ventilasi. Kemoreseptor perifer yang terdapat dalam badan karotis pada bifurkasio arteria komunis dan dalam badan aorta pada arkus aorta, peka terhadap penurunan PaO2 dan pH, dan peningkatan PaCO2. Akan tetapi PaO2 harus turun dari nilai normal kira-kira sebesar 90-100 mmHg hingga mencapai sekitar 60 mmHg sebelum ventilasi mendapat rangsangan yang cukup berarti.
Mekanisme lain mengontrol jumlah udara yang masuk ke dalam paru. Pada waktu paru mengembang, reseptor-reseptor ini mengirim sinyal pada pusat pernafasan agar menghentikan pengembangan lebih lanjut.  Sinyal dari reseptor regang tersebut akan berhenti pada akhir ekspirasi ketika paru dalam keadaan mengempis dan pusat pernafasan bebas untuk memulai inspirasi lagi. Mekanisme ini yang dikenal dengan nama refleks Hering-Breuer, refleks ini tidak aktif pada orang dewasa, kecuali bila volume tidal melebihi 1 liter seperti pada waktu berolah raga. Refleks ini menjadi lebih penting pada bayi baru lahir. Pergerakan sendi dan otot (misalnya, sewaktu berolah raga) juga merangsang peningkatan ventilasi. Pola dan irama pengaturan pernafasan dijalankan melalui interaksi pusat-pusat pernafasan yang terletak dalam pons dan medulla oblongata. Keluaran motorik akhir disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf frenikus yang mempersarafi diafragma, yaitu otot utama ventilasi. Saraf utama lain yang ikut ambil bagian adalah saraf asesorius dan interkostalis torasika yang mempersarafi otot bantu pernafasan dan otot interkostalis.

Kontrol pernafasan pada jalan nafas
Otot polos terdapat pada trakea hingga bronkiolus terminalis dan dikontrol oleh sistem saaraf otonom. Tonus bronkomotorik bergantung pada keseimbangan antara kekuatan konstriksi dan relaksasi otot polos pernafasan. Persarafan parasimpatis (kolinergik – melalui nervus vagus) memberikan tonus bronkokonstriktor pada jalan nafas. Rangsangan parasimpatis menyebabkan bronkokonstriksi dan peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. Rangsangan simpatis terutama ditimbulkan oleh epinefrin melalui reseptor-reseptor adrenergic-beta2, dan menyebabkan relaksasi otot polos bronkus,  bronkodilasi, dan berkurangnya sekresi bronkus. Simpatis mempersarafi jalan nafas, namun hanya sedikit. Sekarang ini, komponen ketiga pengontrolan saraf yan telah digambarkan disebut nonkolinergik, sistem penghambat nonadrenergik. Stimulasi serat saraf ini terletak pada nerfus vagus dan menyebabkan bronkodilasi, dan neurotransmitter yang digunakan adalah nitrogen oksida. Reseptor-reseptor jalan nafas bereaksi terhadap iritan-iritan mekanik ataupun kimia yang akan menimbulkan masukan sensoris jaras vagus aferen, dan dapat menyebabkan bronkokonstriksi, peningkatan sekresi mucus, peningkatan permeabilitas pembuluh darah.
   
C.    Tinjauan Fisiologi
Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru. Stadium kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari beberapa aspek : 1) difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan; 2) distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus; dan 3) reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah. Respirasi sel atau respirasi interna merupakan stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-zat dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru.   

Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Rangka toraks berfungsi sebagai pompa. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot. Otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum keatas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga. Toraks membesar ke tiga arah: anteroposterior, lateral, dan vertical. Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan intrapleura,  dari sekitar -4mmHg (relative terhadap terkanan atmosfer) menjadi sekitar -8 mmHg bila paru mengembang pada waktu inspirasi. Pada saat yang sama tekanan intrapulmonal atau tekanan jalan nafas menurun sampai sekitar -2 mmHg dari 0 mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara jalan nafas dan atmosfer menyebabkan udara mengalir ke dalam paru sampai tekanan jalan nafas pada akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru. Pada waktu otot interkostalis internus relaksasi, rangka iga turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Otot interkostalis internus dapat menekan iga ke bawah dan ke dalam pada waktu ekspirasi kuat dan aktif, batuk, muntah, atau defekasi. Selain itu, otot-otot abdomen dapat berkontraksi sehingga tekanan intraabdomen membesar dan menekan diafragma ke atas. Peningkatan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang meningkat dan mencapai 1 sampai 2 mmHg di atas tekanan atmosfer. Selisih tekanan antara jalan nafas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru sampai tekanan jalan nafas dan atmosfer menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi. Tekanan intrapleura selalu berada dibawah tekanan atmosfer selama siklus pernafasan.

Definisi-definisi berikut ini akan berguna dalam pembahasan ventilasi yang efektif :
·         Volume semenit atau ventilasi semenit (VE) adalah volume udara yang terkumpul selama ekspirasi dalam periode satu menit. VE dapat dihitung dengan mengalikan nilai VT dengan kecepatan pernafasan. Dalam keadaan istirahat, VE orang dewasa sekitar 6 atau 7 liter/ menit.

·         Frekuensi pernafasan (f) atau ‘kecepatan; adalah jumlah nafas yang dilakukan per menit. Pada keadaan istirahat, pernafasan orang dewasa sekitar 10-20 kali per menit.

·         Volume tidal (VT) adalah banyaknya udara yang diinspirasi atau diekspirasi pada setiap pernafasan. VT sekitar 8-12 cc/kgBB dan jauh meningkat pada waktu melakukan kegiatan fisik yaitu bila bernafas dalam.

·         Ruang mati fisiologis (VD) adalah volume udara inspirasi yang tidak tertukar dengan udara paru; udara ini dapat dianggap sebagai ventilasi yang terbuang sia-sia. Ruang mati fisiologis terdiri dari ruang mati anatomis (volume udara dalam saluran nafas penghantar, yaitu sekitar 1 ml per pon berat badan), ruang mati alveolar (alveolus mengalami ventilasi tapi tidak mengalami perfusi), dan ventilasi melampaui perfusi. Perbandingan antara VD dengan VT (VD / VT) menggambarkan bagian dati VT yang tidak mengadakan pertukaran dengan darah paru. Nilai rasio tersebut tidak melebihi 30% sampai 40% pada orang yang sehat. Perbandingan ini seringkali digunakan untuk mengikuti keadaan pasien yang mendapatkan ventilasi mekanik.

·         Ventilasi alveolar (VA) adalah volume udara segar yang masuk ke dalam alveolus setiap menit, yang mengadakan pertukaran dengan darah paru. Ini merupakan ventilasi efektif. Ventilasi alveolar dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
VA= (VT-VD) x f, atau VA= VE-VD.
VA merupakan petunjuk yang lebih baik tentang ventilasi dibandingkan VE atau VT karena pada pengukuran ini diperhitungkan volume udara yang terbuang dalam ventilasi VD.

·         Komplians (C=daya kembang) adalah ukuran sifat elastik (distensibilitas) yang dimilii oleh paru dan toraks. Didefinisikan sebagai perubahan volume per unit perubahan dalam tekanan dalam keadaan statis.  Komplians total (daya kembang paru dan toraks) atau komplians paru saja dapat ditentukan. Komplians paru normal dan komplians rangka toraks per VT masing-masing sekitar 0,2 liter/ cm H2O sedangkan komplians total besarnya sekitar 0,1 liter/ cm H2O.

Transportasi – Difusi
Tahap kedua dari proses pernafasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0.5 µm). kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer pada permukaan laut sekitar 159 mmHg (21% dari 760 mmHg). Namun, pada waktu O2 sampai di trakea, tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekitar 149 mmHg karena dihangatkan dan dilembabkan oleh jalan nafas (760-47 x 0,21 = 149). Tekanan parsial uap air pada suhu tubuh adalah 47 mmHg. Tekanan parsial O2 yang diinspirasi akan menurun kira-kira 103 mmHg pada saat mencapai alveoli karena tercampur dengan udara dalam ruang mati anatomik pada saluran jalan nafas. Ruang mati anatomik ini dalam keadaan normal mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan ideal. Hanya udara bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi efektif. Tekanan parsial O2 dalam darah vena campuran (PVO2) di kapiler paru kira-kira sebesar 40 mmHg. PO2 kapiler lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 = 103 mmHg) sehingga O2 nudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan tekanan antara darah (46 mmHg) dan PaCO2 (40  mmHg) yang lebih rendah 6 mmHg menyebabkan CO2 berdifusi ke dalam alveolus. CO2 ini kemudian dikeluarkan ke atmosfer, yang konsentrasinya mendekati nol. Kendati selisih CO2 antara darah dan alveolus amat kecil namun tetap memadai, karena dapat berdifusi melintasi membran alveolus kapiler kira-kira 20 kali lebih cepat dibandingkan O2 karena daya larutnya yang lebih besar.
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan antara O2 di kapiler darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit (misalnya, fibrosis paru), sawar darah dan udara dapat menebal dan difusi dapat melambat sehingga keseimbangan mungkin tidak lengkap, terutama seawktu berolah raga ketika waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak dianggap sebagai faktor utama. Pengeluaran CO2 dianggap tidak dipengaruhi oleh kelainan difusi.

Hubungan antara ventilasi – perfusi
Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Dengan perkataan lain, ventilasi dan perfusi unit pulmonar harus sesuai. Pada orang normal dengan posisi tegak dan dalam keadaan istirahat, ventilasi dan perfusi hamir seimbang kecuali pada apeks paru. Sirkulasi pulmoner dengan tekanan dan resistensi rendah mengakibatkan aliran darah di basis paru lebih besar daripada di bagian apeks, disebabkan pengaruh gaya tarik bumi. Namun, ventilasinya cukup merata. Nilai rata-rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi :
V/Q = 0,8
Nilai diatas didapatkan melalui rasio rata-rata laju ventilasi alveolar normal (4L/menit) dibagi dengan curah jantung normal (5L/menit).
Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi terjadi kebanyakan pada penyakit pernafasan. Penyakit paru dan gangguan fungsional pernafasan dapat diklasifikasikan secara fisiologis sesuai jenis penyakit yang dialami, apakah menimbulkan pirau yang besar (tidak terdapat ventilasi tapi perfusi normal, sehingga perfusi terbuang sia-sia, V/Q kurang dari 0,8) atau menimbulkan penyakit pada ruang mati (ventilasi normal, akan tetapi tanpa perfusi, V/Q lebih dari 0,8).

Transpor O2 dalam darah
O2 dapat diangkut dari paru ke jaringan-jaringan melalui dua jalan: secara fisik larut dalam plasma atau secara kimia berikatan dengan Hb sebagai oksihemoglobin (HbO2). Ikatan kimia O2 dengan Hb ini bersifat reversible, dan jumlah sesungguhnya yang diangkut dalam bentuk ini mempunyai hubungan nonlinear dengan tekanan parsial O2 dalam darah arteri (PaO2), yang ditentukan oleh jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma darah. Selanjutnya, jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma mempunyai hubungan langsung dengan tekanan parsial O2 dalam alveolus (PAO2). Jumlah O2 juga bergantung pada daya larut O2 dalam plasma. Hanya sekitar 1% dari jumlah O2 total yang ditranspor dengan cara ini. Cara transport seperti ini tidak memadai untuk mempertahankan hidup walaupun dalam keadaan istirahat sekalipun. Sebagian besar O2 diangkut oleh Hb yang terdapat dalam sel darah merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya :keracunan karbon monoksida atau hemolisis masif dengan insufisiensi Hb), O2 yang cukup untuk mempertahankan hidup dapat diangkut dalam bentuk larutan fisik dengan memberikan pasien O2 bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer (ruang O2 hiperbarik).
Satu gram Hb dapat mengikat 1,34 ml O2. Konsentrasi Hb rata-rata dalam darah laki-laki dewasa sekitar 15 g per 100 ml sehingga 100 ml darah dapat mengangkut 20,1 ml O2 (15 x 1,34) bila O2 jenuh (SaO2) adalah 100%. Tetapi sedikit darah vena campuran dari sirkulasi bronchial ditambahkan ke darah yang meninggalkan kapiler paru dan sudah teroksigenasi. Proses pengenceran ini menjelaskan mengapa hanya kira-kira 97 persen darah yang meninggalkan paru menjadi jenuh.
Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan tersebut bervariasi, namun sekitar 75% Hb masih berikatan dengan O2 pada waktu Hb kembali ke paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25% O2 dalam darah arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan. Hb yang telah melepaskan O2 pada tingkat jaringan disebut Hb tereduksi. Hb tereduksi berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan pada darah vena, sedangkan HbO2 berwarna merah terang dan menyebabkan warna kemerah-merahan pada darah arteri.

Kurva Disosiasi Oksihemoglobin
Untuk dapat memahami kapasitas angkut O2 dengan jelas harus diketahui afinitas Hb terhadap O2 karena suplai O2 untuk jaringan maupun pengambilan O2 oleh paru sangat bergantung pada hubungan tersebut. Jika darah lengkap dipajankan terhadap berbagai tekanan parsial O2 dan persentase kejenuhan Hb diukur, maka didapatkan kurva berbentuk huruf S bila kedua pengukuran tersebut digabungkan. Kurva ini dikenal dengan nama kurva disosiasi oksihemoglobin dan menyatakan afinitas Hb terhadap O2 pada berbagai tekanan parsial.
Fakta fisiologis yang sangat penting tentang kurva ini yaitu adanya bagian atas yang datar. Pada bagian atas kurva yang datar, perubahan yang besar pada tekanan O2 akibat sedikit perubahan pada kejenuhan HbO2. Ini berarti bahwa jumlah O2 yang relatif konstan dapat disuplai ke jaringan bahkan pada ketinggian yang tinggi saat PO2 dapat sebesar 60 mmHg atau kurang. Ini juga berarti bahwa pemberian O2 dalam konsentrasi tinggi (udara normal 21%) pada pasien dengan hipoksemia ringan (PaO2=60-75 mmHg) adalah sia-sia, karena HbO2 hanya dapat ditingkatkan sedikit sekali. Pelepasan Oke jaringan dapat ditingkatkan oleh hubungan PO2 terhadap SaO2 pada kurva bagian vena yang curam. Pada bagian ini perubahan-perubahan besar pada HbO2 merupakan akibat sedikit perubahan pada PO2.
Afinitas Hb terhadap O2 dipengaruhi oleh banyak faktor lain yang menyertai jaringan dan dapat diubah oleh penyakit. Daftar dari beberapa faktor tersebut serta pengaruhnya pada afinitas terhadap O2 dapat dilihat pada tabel di bawah.

Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi afinitas oksihemoglobin (HbO2)
Kurva disosiasi HbO2
Pergeseran ke kiri
(P50 menurun)
Pergeseran ke kanan
(P50 meningkat)
pH ↑
pH ↓
PCO2
PCO2
Suhu ↓
Suhu ↑
2,3 DPG ↓
2,3 DPG ↑
P50 = tegangan oksigen dibutuhkan untuk menghasilka kejenuhan 50%
Kurva bergeser ke kanan apabila pH darah menurun atau PCO2 meningkat. Dalam keadaan ini, pada PO2 tertentu afinitas Hb terhadap O2 berkurang, sehingga O2 yang dapat diangkut oleh darah berkurang. Keadaan patologis yang dapat menyebabkan asidosis metabolic, seperti syok (pembentukan asam laktat berlebihan akibat metabolisme anaerobic) atau retensi CO2 (seperti yang ditemukan pada banyak penyakit paru) akan menyebabkan pergeseran kurva ke kanan. Pergeseran kurva sedikit ke kanan seperti pada bagian vena kurva normal (pH 7,38) akan membantu pelepasan O2 ke jaringan. Pergeseran ini dikenal dengan nama efek Bohr. Faktor lain yang menyebabkan pergeseran kurva ke kanan adalah peningkatan suhu dan 2,3 difosfogliserat (2,3-DPG) yaitu fosfat organic dalam sel darah merah yang mengikat Hb dan mengurangi afinitas Hb terhadap O2. Pada anemia dan hipoksemia kronik, 2,3-DPG sel darah merah meningkat. Meskipun kemampuan transport O2 oleh Hb menurun bila kurva bergeser ke kanan, namun kemampuan Hb untuk melepaskan O2 ke jaringan dipermudah. Karena itu, pada anemia dan hipoksemia kronik pergeseran kurva ke kanan merupakan proses kompensasi. Pergeseran kurva ke kanan yang disertai kenaikan suhu, selain menggambarkan adanya kenaikan metabolisme sel dan peningkatan kebutuhan O2, juga merupakan proses adaptasi dan menyebabkan lebih banyak O2 yang dilepaskan ke jaringan dari aliran darah.
 Sebaliknya, peningkatan pH darah (alkalosis) atau penurunan PCO2, suhu, dan 2,3-DPG akan menyebabkan pergeseran kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri. Pergeseran ke kiri menyebabkan peninkatan afinitas Hb terhadap O2. Akibatnya ambilan O2 paru meningkat pada pergeseran ke kiri, namun pelepasan ke jaringan terganggu. Karena itu secara teoretis dapat terjadi hipoksia (insufisiensi O2 jaringan guna memenuhi kebutuhan metabolisme) pada keadaan alkalosis berat,  terutama bila disertai dengan hipoksemia. Keadaan ini terjadi selama proses mekanisme overventilasi dengan respirator atau pada tempat yang tinggi akibat hiperventilasi. Karena hiperventilasi juga diketahui dapat menurunkan aliran darah serebral karena penurunan PaCO2, iskemia serebral juga bertanggung jawab atas gejala berkunang-kunang yang sering terjadi pada kondisi demikian. Darah yang disimpan akan kehilangan aktifitas 2,3-DPG, sehingga afinitas Hb terhadap O2 akan meningkat. Oleh karena itu, pasien yang menerima transfuse darah yang disimpan dalam jumlah banyak kemungkinan akan mengalami gangguan pelepasan O2 ke jaringan karena adanya pergeseran kurva disosiasi HbO2 ke kiri.
Afinitas Hb diberi batasan melalui PO2 yang dibutuhkan untuk menghasilkan kejenuhan 50% (P50). Dalam keadaan normal, P50 sekitar 27 mmHg. P50 akan meningkat, bila kurva disosiasi bergeser ke kanan (pengurangan afinitas Hb terhadap O2) sedangkan pada pergeseran kurva ke kiri, (peningkatan afinitas Hb terhadap O2), P50 akan menurun.
Homeostasis CO2 juga merupakan suatu aspek penting dalam kecukupan respirasi. Transpor CO2  dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan dengan tiga cara. Sekitar 10% CO2 secara fisik larut dalam plasma, karena tidak seperti O2, CO2 mudah larut dalam plasma. Sekitar 20% CO2 berikatan dengan gugus amino pada Hb (karbaminohemoglobin) dalam sel darah merah, dan sekitar 70% diangkut dalam bentuk bikarbonat plasma (HCO3-). CO2 berikatan dengan air dalam reaksi berikut ini :
CO2 + H2O ↔ H2CO3↔ H+ + HCO3-
Reaksi ini reversible dan disebut persamaan buffer asam bikarbonat-karbonat. Keseimbangan asam basa tubuh ini sangat dipengaruhi oleh fungsi paru dan homeostasis CO2. Pada umumnya hiperventilasi (ventilasi alveolus dalam keadaan kebutuhan metabolisme yang berlebihan) menyebabkan alkalosis (peningkatan pH darah melebihi pH normal 7,4) akibat ekskresi CO2 berlebihan dari paru; hipoventilasi (ventilasi alveolus yang tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme) menyebabkan asidosis akibat retensi CO2 oleh paru. Penurunan PCO2 seperti yang terjadi pada hiperventilasi, akan menyebabkan reaksi bergeser ke kiri sehingga menyebabkan penurungan konsentrasi H+(kenaikan pH), dan peningkatan PCO2 menyebabkan reaksi menjurus ke kanan, menimbulkan kenaikan H+ (penurunan pH).  
Sama seperti O2, jumlah CO2 dalam darah berkaitan dengan PCO2. Kurva disosiasi CO2 hampir linear pada batas-batas fisiologis PCO2. Ini berarti bahwa kandungan CO2 dalam darah berhubungan lansung dengan PCO2. Selain itu, tidak ada sawar yang bermakna terhadap difusi CO2. Karena itu PaCO2 merupakan petunjuk yang baik akan kecukupan ventilasi. 

D.    Penilaian Status Pernafasan
Pengetahuan tentang gas darah (PO2, PCO2, dan pH darah arteri) saja tidak cukup memberikan keterangan tentang transpor O2 dan CO2 untuk memastikan apakah oksigenasi jaringan pasien sudah memadai. Banyak faktor lain yang ikut berperan dalam proses transport, seperti curah jantung yang memadai dan perfusi jaringan, serta difusi gas-gas pada tingkat jaringan. Karena itu deteksi hipoksia jaringan harus selalu disertai dengan pengamatan klinis serta interpretasi gas-gas darah.
 Informasi penting lain yang diperlukan untuk menilai status respirasi pasien adalah konsentrasi Hb serta persentase kejenuhan Hb. Persentase kejenuhan Hb tidak bergantung pada konsentrasi Hb, sedangkan kandungan O2 dalam volume persen berhubungan langsung dengan konsentrasi Hb. Volume persen menunjukkan berapa banyak O2 yang dapat dihantarkan ke jaringan pada PaO2 tertentu.

E.     Analisa Gas Darah
Untuk menilai fungsi pernafasan secara adekuat, perlu juga mempelajari hal-hal di luar paru seperti volume dan distribusi gas yang diangkut oleh sistem sirkulasi.
PaCO2 merupakan petunjuk VA yang terbaik. Bila PaCO2 meningkat, penyebab langsung selalu hipoventilsai alveolar. Hipoventilasi menyebabkan asidosis respiratorik dan penurunan pH darah. Penyebab langsung penurunan PaCO2 adalah selalu hiperventilasi alveolar. Hiperventilasi menyebabkan alkalosis resiratorik dan kenaikan pH darah.
Bila PaO2 turun sampai di bawah nilai normal, terjadi hipoksemia. Pada gagal pernafasan yang berat, PaO2 makin turun sampai 30-40 mmHg. Hipoksemia akibat penyakit paru disebabkan oleh salah satu atau lebih dari mekanisme di bawah ini : 1) ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi (penyebab tersering), 2) hipoventilasi alveolar, 3)gangguang difusi, atau 4) pirau anatomic intrapulmonar. Hipoksemia akibat tiga kelainan yang pertama dapat diperbaiki dengan pemberian O2. Tetapi pirau anatomic intrapulmonar (pirau arteriovenosa) tidak dapat diatasi dengan terapi O2.
Perubahan gas darah arteri merupakan hal yang kritis dalam diagnosis kegagalan pernafasan atau ventilasi yang mungkin timbul secara perlahan-lahan. Apabila kadar PaO2 tutun di bawah normal, terjadi insufisiensi pernafasan, dan terjadi kegagalan pernafasan bila PaO2 turun sampai 50 mmHg. PaCO2 dapat meningkat atau turun sampai di bawah nilai normal pada insufisiensi atau kegagalan pernafasan.

Tabel 2. Nilai Normal dari Gas Darah Arteri
Pengukuran Gas Darah
Simbol
Nilai normal
Tekanan CO2
PaCO2
35-45 mmHg
(rata-rata, 40)
Tekanan O2
PaO2
80-100 mmHg
Persentase kejenuhan O2
SaO2
97
Konsentrasi ion hydrogen
pH
7,35-7,45
Bikarbonat
HCO3-
22-26 mEq/L

F.     Terapi Oksigen
Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen sebagai suatu intervensi medis, dengan konsentrasi yang lebih tinggi disbanding yang terdapat dalam udara untuk terapi dan pencegahan terhadap gejala dan menifestasi dari hipoksia. Oksigen sangat penting untuk metabolisme sel, dan lebih dari itu, oksigenasi jaringan sangat penting untuk semua fungsi fisiologis normal.
Oksigen dapat diberikan secara temporer selama tidur maupun selama beraktivitas pada penderita dengan hipoksemia. Selanjutnya pemberian oksigen dikembangkan terus ke arah ventilasi mekanik, pemakaian oksigen di rumah. Untuk pemberian oksigen dengan aman dan efektif perlu pemahaman mengenai mekanisme hipoksia, indikasi, efek terapi, dan jenis pemberian oksigen serta evaluasi penggunaan oksigen tersebut.

Hipoksemia
Hipoksemia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan konsentrasi oksigen dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi O2 arteri (SaO2) dibawah nilai normal. Hipoksemia dibedakan menjadi ringan sedang dan berat berdasarkan nilai PaO2 dan SaO2, yaitu:
1. Hipoksemia ringan dinyatakan pada keadaan PaO2 60-79 mmHg dan SaO2 90-94%
2. Hipoksemia sedang PaO2 40-60 mmHg, SaO2 75%-89%
3. Hipoksemia berat bila PaO2 kurang dari 40 mmHg dan SaO2 kurang dari 75%.
Hipoksemia dapat disebabkan oleh gangguan ventilasi, perfusi, hipoventilasi, pirau, gangguan difusi dan berada ditempat yang tinggi. Keadaan hipoksemia menyebabkan beberapa perubahan fisiologi yang bertujuan untuk mempertahankan supaya oksigenasi ke jaringan memadai. Bila tekanan oksigen arteriol (PaO2) dibawah 55 mmHg, kendali nafas akan meningkat, sehingga tekanan oksigen arteriol (PaO2) yang meningkat dan sebaliknya tekanan karbondioksida arteri (PaCO2) menurun, jaringan vaskuler yang mensuplai darah di jaringan hipoksia mengalami vasodilatasi, juga terjadi takikardi kompensasi yang akan meningkatkan volume sekuncup jantung sehingga oksigenasi jaringan dapat diperbaiki. Hipoksia alveolar menyebabkan kontraksi pembuluh pulmoner sebagai respon untuk memperbaiki rasio ventilasi perfusi di area paru terganggu, kemudian akan terjadi peningkatan sekresi eritropoitin ginjal sehingga mengakibatkan eritrositosis dan terjadi peningkatan kapasitas transfer oksigen. Kontraksi pembuluh darah pulmoner, eritrositosis dan peningkatan volume sekuncup jantung akan menyebabkan hipertensi pulmoner, gagal jantung kanan bahkan dapat menyebabkan kematian.

Hipoksia
Hipoksia adalah kekurangan O2 ditingkat jaringan. Istilah ini lebih tepat dibandingkan anoksia, sebab jarang dijumpai keadaan dimana benar-benar tidak ada O2 tertinggal dalam jaringan. Jaringan akan mengalami hipoksia apabila aliran oksigen tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan, hal ini dapat terjadi kira-kira 4-6 menit setelah ventilasi spontan berhenti. Secara tradisional, hipoksia dibagi dalam 4 jenis.

 Keempat kategori hipoksia adalah sebagai berikut :
1.      Hipoksia hipoksik (anoksia anoksik) yaitu apabila PO2 darah arteri berkurang. Merupakan masalah pada individu normal pada daerah ketinggian serta merupakan penyulit pada pneumonia dan berbagai penyakit sistim pernafasan lainnya. Gejala yang muncul pada keadaan ini antara lain iritabilitas, insomnia, sakit kepala, sesak nafas, mual dan muntah.

2.      Hipoksia anemik yaitu apabila O2 darah arteri normal tetapi mengalami denervasi. Sewaktu istirahat, hipoksia akibat anemia tidaklah berat, karena terdapat peningkatan kadar 2,3-DPG didalam sel darah merah, kecuali apabila defisiensi hemoglobin sangat besar. Meskipun demikian, penderita anemia mungkin mengalami kesulitan cukup besar sewaktu melakukan latihan fisik karena adanya keterbatasan kemampuan meningkatkan pengangkutan O2 ke jaringan aktif.

3.      Hipoksia stagnan; akibat sirkulasi yang lambat merupakan masalah bagi organ seperti ginjal dan jantung saat terjadi syok. Hipoksia akibat sirkulasi lambat merupakan masalah bagi organ seperti ginjal dan jantung saat terjadi syok. Hati dan mungkin jaringan otak mengalami kerusakan akibat hipoksia stagnan pada gagal jantung kongestif. Pada keadaan normal, aliran darah ke paru-paru sangat besar, dan dibutuhkan hipotensi jangka waktu lama untuk menimbulkan kerusakan yang berarti. Namun, syok paru dapat terjadi pada kolaps sirkulasi berkepanjangan,terutama didaerah paru yang letaknya lebih tinggi dari jantung.

4.      Hipoksia histotoksik; hipoksia yang disebabkan oleh hambatan proses oksidasi jaringan paling sering diakibatkan oleh keracunan sianida. Sianida menghambat sitokrom oksidasi serta mungkin beberapa enzim lainnya. Biru metilen atau nitrit digunakan untuk mengobati keracunan sianida. Zat-zat tersebut bekerja dengan sianida, menghasilkan sianmethemoglobin, suatu senyawa non toksik. Pemberian terapi oksigen hiperbarik mungkin juga bermanfaat.
 Jika aliran oksigen ke jaringan berkurang, atau jika penggunaan berlebihan di jaringan maka metabolisme akan berubah dari aerobik ke metabolisme anaerobik untuk menyediakan energi yang cukup untuk metabolisme. Apabila ada ketidakseimbangan, akan mengakibatkan produksi asam laktat berlebihan, menimbulkan asidosis dengan cepat, metabolime selule terganggu dan mengakibatkan kematian sel. Pemeliharaan oksigenasi jaringan tergantung pada 3 sistem organ yaitu sistem kardiovaskular, hematologi, dan respirasi.

Manifestasi klinik hipoksia
Manifestasi klinik hipoksia tidak spesifik, sangat bervariasi, tergantung pada lamanya hipoksia, kondisi kesehatan individu, dan biasanya timbul pada keadaan hipoksia yang sudah berat. Manifestasi klinik dapat berupa perubahan status mental/bersikap labil, pusing, dispneu, takipneu, respiratory distress, dan aritmia. Sianosis sering dianggap sebagai tanda dari hipoksia, namun hal ini hanya dapat dibenarkan apabila tidak terdapat anemia.
Untuk mengukur hipoksia dapat digunakan alat oksimetri (pulse oxymetry) dan analisis gas darah. Bila nilai saturasi kurang dari 90% diperkirakan hipoksia, dan membutuhkan oksigen.

Tabel 3. Gejala dan Tanda-Tanda Hipoksia Akut.
Sistem
Gejala dan tanda
Respirasi

Kardiovaskuler


Sistem saraf pusat


Neuromuskular

Metabolik
Sesak nafas, sianosis

Cardiac output meningkat, palpitasi, takikardi, aritmia, hipotensi, angina, vasodilatasi, dan syok

Sakit kepala, perilaku yang tidak sesuai, bingung, delirium, gelisah, edema papil, koma

Lemah, tremor, hiperrefleks, incoordination

Retensi cairan dan kalium, asidosis laktat

Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang Lain
Karena berbagai tanda dan gejala hipoksia bervariasi dan tidak spesifik, maka untuk menentukan hipoksia diperlukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan yang paling sering digunakan adalah pemeriksaan PaO2 arteri atau saturasi oksigen arteri melalui pemeriksaan invasif yaitu analisis gas darah arteri ataupun non invasif yaitu pulse oximetry. Pada pemeriksaan gas darah, spesimen darah diambil dari pembuluh darah arteri (a.Radialis atau a.Femoralis) dan akan didapatkan nilai PaO2, PCO2, saturasi oksigen, dan parameter lain. Pada pemeriksaan oksimetri hanya dapat melihat saturasi oksigen. Pemeriksaan saturasi oksigen ini tidak cukup untuk mendeteksi hipoksemia, karena hanya dapat memperkirakan PaO2 ≥ 60 mmHg atau PaO2 < 60mmHg. Berulang kali studi dilakukan, ternyata oksimetri tidak bisa untuk menentukan indikasi pemberian terapi oksigen jangka panjang, namun pemeriksaan noninvasif ini efektif digunakan untuk evaluasi kebutuhan oksigen selama latihan, dan untuk mengevaluasi dan memastikan dosis oksigen bagi pasien yang menggunakan terapi oksigen di rumah.

Gagal Nafas
Gagal nafas merupakan suatu keadaan kritis yang memerlukan perawatan di instansi perawatan intensif. Diagnosis gagal nafas ditegakkan bila pasien kehilangan kemampuan ventilasi secara adekuat atau tidak mampu mencukupi kebutuhan oksigen darah dan sistem organ. Gagal nafas terjadi karena disfungsi sistem respirasi yang dimulai dengan peningkatan karbondioksida dan penurunan jumlah oksigen yang diangkut kedalam jaringan. Gagal nafas akut sebagai diagnosis tidak dibatasi oleh usia dan dapat terjadi karena berbagai proses penyakit. Gagal nafas hampir selalu dihubungkan dengan kelainan diparu,tetapi keterlibatan organ lain dalam proses respirasi tidak boleh diabaikan.

1. Gagal Nafas Tipe I
Pada tipe ini terjadi perubahan pertukaran gas yang diakibatkan kegagalan oksigenasi. PaO2 ≤50 mmHg merupakan ciri khusus tipe ini, sedangkan PaCO2 ≤40 mmHg, meskipun ini bisa juga disebabkan gagal nafas hiperkapnia. Ada 6 kondisi yang menyebabkan gagal nafas tipe I yaitu:
• Ketidaknormalan tekanan partial oksigen inspirasi (low PIO2)
• Kegagalan difusi oksigen
• Ketidakseimbangan ventilasi / perfusi [V/Q mismatch]
• Pirau kanan ke kiri
• Hipoventilasi alveolar
• Konsumsi oksigen jaringan yang tinggi

2. Gagal Nafas Tipe II
Tipe ini dihubungkan dengan peningkatan karbondioksida karena kegagalan ventilasi dengan oksigen yang relatif cukup. Beberapa kelainan utama yang dihubungkan dengan gagal nafas tipe ini adalah kelainan sistem saraf sentral, kelemahan neuromuskuler dan deformitas dinding dada.Penyebab gagal nafas tipe II adalah :
• Kerusakan pengaturan sentral
• Kelemahan neuromuskuler
• Trauma spina servikal
• Keracunan obat
• Infeksi
• Penyakit neuromuskuler
• Kelelahan otot respirasi
• Kelumpuhan saraf frenikus
• Gangguan metabolisme
• Deformitas dada
• Distensi abdomen massif
• Obstruksi jalan nafas

Manfaat Terapi Oksigen
Tujuan terapi oksigen adalah mengoptimalkan oksigenasi jaringan dan meminimalkan asidosis respiratorik.
Ada beberapa keuntungan dari terapi oksigen. Terapi oksigen pada pasien PPOK dengan konsentrasi oksigen yang tepat dapat mengurangi sesak nafas saat aktivitas, dapat meningkatkan kemampuan beraktifitas dan dapat memperbaiki kualitas hidup.
Manfaat lain dari terapi oksigen adalah memperbaiki hemodinamik paru, kapasitas latihan, kor pulmonal, menurunkan cardiac output, meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi neuropsikiatrik, mengurangi hipertensi pulmonal, dan memperbaiki metabolisme otot.

Indikasi Terapi Oksigen
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar membutuhkan oksigen, apakah dibutuhkan terapi oksigen jangka pendek (Short-term oxygen therapy) atau terapi oksigen jangka panjang (Long term oxygen therapy).
Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.

Terapi Oksigen Jangka Pendek
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut, diantaranya pneumonia, PPOK dengan eksaserbasi akut, asma bronkial, gangguan kardiovaskular, emboli paru. Pada keadaan tersebut, oksigen harus segera diberikan secara adekuat. Pemberian oksigen yang tidak adekuat akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi ini, oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek sampai kondisi membaik dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan, oksigen harus diberi secara terus-menerus.
Untuk pedoman indikasi terapi oksigen jangka pendek terdapat rekomendasi dari The American College of Chest Physicians dan The National Heart, Lung, and Blood Institute (tabel 4).

Tabel 4. Indikasi Akut Terapi Oksigen
Indikasi yang sudah direkomendasi :
-          Hipoksemia akut (PaO2 < 60 mmHg; SaO2 < 90%)
-          Cardiac arrest dan  respiratory arrest
-          Hipotensi (tekanan darah sistolik < 100 mmHg)
-          Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolik (bikarbonat < 18 mmol/L)
-          Respiratory distress (frekuensi pernafasan > 24/min)
Indikasi yang masih dipertanyakan :
-          Infark miokard tanpa komplikasi
-          Sesak nafas tanpa hipoksemia
-          Krisis sel sabit
-          Angina

Terapi Oksigen Jangka Panjang
Banyak pasien hipoksemia membutuhkan terapi oksigen jangka panjang. Pasien dengan PPOK merupakan kelompok yang paling banyak menggunakan terapi oksigen jangka panjang. Studi awal pada terapi oksigen jangka panjang pada pasien PPOK memperlihatkan bahwa pemberian oksigen secara kontinu selama 4-8 minggu menurunkan hematokrit, memperbaiki toleransi latihan, dan menurunkan tekanan vaskular pulmonar.
Pada pasien dengan PPOK dan kor pulmonal, terapi oksigen jangka panjang dapat meningkatkan jangka hidup sekitar 6 sampai 7 tahun. Angka kematian menurun pada pasien dengan hipoksemia kronis apabila oksigen diberikan lebih dari 12 jam sehari dan manfaat survival lebih besar telah ditunjukkan dengan pemberian oksigen berkesinambungan.
Berdasarkan beberapa penelitian didapatkan bahwa terapi oksigen jangka panjang dapat memperbaiki harapan hidup. Karena adanya perbaikan dengan terapi oksigen jangka panjang, maka direkomendasikan untuk pasien hipoksemia (PaO2 < 55 mmHg atau saturasi oksigen < 88%) oksigen diberikan secara terus-menerus 24 jam dalam sehari. Pasien dengan PaO2 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 88%, kor pulmonal atau polisitemia juga memerlukan terapi oksigen jangka panjang.
Pada keadaan ini, awal pemberian oksigen harus dengan konsentrasi rendah (FiO2 24-28%) dan dapat ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil pemeriksaan analisis gas darah, dengan tujuan mengoreksi hipoksemia dan menghindari penurunan pH dibawah 7,26. Oksigen dosis tinggi yang diberikan kepada pasien PPOK yang sudah mengalami gagal nafas tipe II (peningkatan karbondioksida oleh karena kegagalan ventilasi dengan oksigen yang relatif cukup) akan dapat mengurangi efek hipoksik untuk pemicu gerakan bernafas dan meningkatkan mismatch ventilasi-perfusi. Hal ini akan menyebabkan retensi CO2 dan akan menimbulkan asidosis respiratorik yang berakibat fatal.
Pasien yang menerima terapi jangka panjang harus dievaluasi ulang dalam 2 bulan untuk menilai apakah hipoksemia menetap atau ada perbaikan dan apakah masih dibutuhkan terapi oksigen. Hingga 40% pasien yang mendapat terapi oksien mengalami perbaikan setelah 1 bulan dan tidak perlu lagi meneruskan suplemen oksigen.

Berikut ini adalah indikasi terapi oksigen jangka panjang yang telah direkomendasi :
Tabel 5. Indikasi terapi oksigen jangka panjang
Pemberian oksigen secara kontinyu :
-          PaO2 istirahat ≤ 55 mmHg atau saturasi oksigen ≤ 88%
-          PaO2 istirahat 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 89% pada satu keadaan :
o   Edema yang disebabkan karena CHF
o   P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P > 3mm pada lead II, III, aVF
-          Eritrositoma (hematokrit > 56%)
-          PaO2 > 59 mmHg atau saturasi oksigen > 89%
Pemberian oksigen tidak kontinyu :
-          Selama latihan : PaO2 ≤ 55 mmHg atau saturasi oksigen ≤ 88%
-          Selama tidur : PaO2 ≤ 55 mmHg atau saturasi oksigen ≤ 88% dengan komplikasi seperti hipertensi pulmoner, somnolen, dan artimia

Tabel 6. Indikasi terapi oksigen jangka panjang pada pasien PPOK
Indikasi
Pencapaian terapi
PaO2 ≤ 55 mmHg or SaO2 ≤ 88%


Pasien dengan kor pulmonal
PaO2 55-59 mmHg atau SaO2 ≥ 89%
Adanya P pulmonal pada EKG, hematokrit > 55% dan gagal jantung kongestif

Indikasi khusus
Nocturnal hypoxemia
Tidak ada hipoksemia saat istirahat, tetapi saturasi menurun selama latihan atau tidur
- PaO2 ≥ 60 mmHg atau SaO2  ≥ 90%
Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan saat tidur dan latihan
-PaO2 ≥ 60 mmHg atau SaO2  ≥ 90%
Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan saat tidur dan latihan



-Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan saat tidur
Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan saat latihan

Kontraindikasi
Suplemen oksigen tidak direkomendasi pada :
·         Pasien dengan keterbatasan jalan nafas yang berat dengan keluhan utama dispneu, tetapi dengan PaO2 lebih atau sama dengan 60 mmHg dan tidak mempunyai hipoksia kronik.
·         Pasien yang meneruskan merokok, karena kemungkinan prognosis yang buruk dan dapat meningkatkan resiko kebakaran.
·         Pasien yang tidak menerima terapi adekuat.

Teknik Pemberian Oksigen
Cara pemberian oksigen dibagi dua jenis, yaitu sistem arus rendah dan sistem arus tinggi, keduanya masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian.
Alat oksigen arus rendah diantaranya kanul nasal, topeng oksigen, reservoir mask, kateter transtrakheal, dan simple mask.
Alat oksigen arus tinggi diantaranya venturi mask, dan reservoir nebulizer blenders.
1.      Alat pemberian oksigen dengan arus rendah
Kateter nasal dan kanul nasal merupakan alat dengan sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Kanul nasal terdiri dari sepasang tube dengan panjang ± 2 cm, dipasangkan pada lubang hidung pasien dan tube dihubungkan secara langsung ke oxygen flow meter. Alat ini dapat menjadi alternatif bila tidak terdapat masker, terutama bagi pasien yang membutuhkan suplemen oksigen rendah. Kanul nasal arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/m, dengan FiO2 antara 24-40%. Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan akan menyebabkan mukosa membran menjadi kering. Kanul nasal merupakan pilihan bagi pasien yang mendapatkan terapi oksigen jangka panjang.
Gambar 1. Kanul nasal

Simple oxygen mask dapat menyediakan 40-60% FiO2, dengan aliran 5-10L/m. aliran dapat dipertahankan 5L/m atau lebih dengan tujuan mencegah CO2 yang telah dikeluarkan  dan tertahan di masker terhirup kembali. Penggunaan alat ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan iritasi kulit dan pressure sores.
Gambar 2. Simple oxygen mask

Partial rebreathing mask merupakan simple mask yang disertai dengan kantung reservoir. Aliran oksigen harus selalu tersuplai untuk mempertahankan kantung reservoir minimal sepertiga sampai setengah penuh pada inspirasi. Sistem ini mengalirkan oksigen 6-10L/m dan dapat menyediakan 40-70% oksigen. Sedangkan non-rebreathing mask hampir sama dengan parsial rebreathing mask kecuali alat ini memiliki serangkai katup ‘one-way’. Satu katup diletakkan diantara kantung dan masker untuk mencegah udara ekspirasi kembali kedalam kantung. Untuk itu perlu aliran minimal 10L/m. Sistem ini mengalirkan FiO2 sebesar 60-80%.   
Gambar 3. Partial rebreathing mask
Gambar 4. Non-rebreathing mask

Transtracheal oxygen. Mengalirkan oksigen secara langsung melalui kateter ke dalam trakea. Oksigen transtrakea dapat meningkatkan kesetiaan pasien menggunakan oksigen secara kontinyu selama 24 jam, dan sering berhasil bagi pasien hipoksemia yang refrakter. Dari hasil studi, dengan oksigen transtrakea ini dapat menghemat penggunaan oksigen 30-60%. Keuntungan dari pemberian oksigen transtrakea yaitu tidak menyolok mata, tidak ada bunyi gaduh, dan tidak ada iritasi muka/hidung. Rata-rata oksigen yang diterima mencapai 80-96%. Kerugian dari penggunaan oksigen transtrakea adalah biaya tinggi dan resiko infeksi lokal. Komplikasi yang biasa terjadi pada pemberian oksigen transtrakea ini adalah emfisema subkutan, bronkospasme, dan batuk paroksismal. Komplikasi lain diantaranya infeksi stoma, dan mucus ball yang dapat mengakibatkan fatal. 
Gambar 5. Transtrakheal oksigen

2.      Alat pemberian oksigen dengan arus tinggi
Alat oksigen arus tinggi diantaranya venture mask dan reservoir nebulizer blenders.
Alat venturi mask menggunakan prinsip jet mixing (efek Bernoulli). Jet mixing mask, mask dengan arus tinggi, bermanfaat untuk mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35%). Pada pasien dengan PPOK dan gagal nafas tipe II, bernafas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2, dan memperbaiki hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah rebreathing diatasi melalui proses pendorongan dengan arus tinggi tersebut.
Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40L/menit oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi.
Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi adalah pasien dengan hipoksia yang memerlukan pengendalian FiO2, dan pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal.  

Gambar 6. Venturi mask

Komplikasi Terapi Oksigen
1.      Penderita PPOK dengan retensi CO2 sering bergantung pada “hypoxic drive” untuk mempertahankan ventilasinya. Konsentrasi O2 yang tinggi dapat mengurangi “drive” ini. Oksigen sebaiknya hanya diberikan dengan persentase rendah dan pasien diobservasi secara ketat untuk menilai adanya retensi CO2.
2.      Kerusakan retina (retrorental fibroplasia) menyebabkan kebutaan pada neonatus, terjadi karena pemberian terapi oksigen yang tidak tepat. Semua terapi oksigen pada bayi baru lahir harus dimonitor secara berkelanjutan.
3.      Pneumonitis dan pembentukan membran hyaline didalam alveoli yang dapat menyebabkan penurunan pergantian gas dan atelektasis.

KESIMPULAN
Oksigen merupakan unsur yang paling dibutuhkan bagi kehidupan manusia, sebentar saja manusia tak mendapat oksigen maka akan langsung fatal akibatnya. Tak hanya untuk bernafas dan mempertahankan kehidupan, oksigen juga sangat dibutuhkan untuk metabolisme tubuh. Pembarian oksigen dapat memperbaiki keadaan umum, mempermudah perbaikan penyakit dan memperbaiki kualitas hidup. Oksigen dapat diberikan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk pemberian oksigen kita harus mengerti indikasi pemberian oksigen, teknik yang akan dipakai, dosis oksigen yang akan diberikan, dan lamanya oksigen yang akan diberikan serta waktu pemberian. Pemberian oksigen perlu selalu dievaluasi sehingga dapat mengoptimalkan pemberian oksigen dan mencegah terjadinya retensi CO2...



DAFTAR PUSTAKA



AARC CPG, 2002, “AARC Clinical Practice Guideline : Oxygen Therapy for Adults in the Acute Care Facility”, diakses dari www.rcjournal.com pada tanggal 12 Januari 2010.
Admin, 2008, “Oksigen”, diakses dari www.healthcare.wordpress.com pada tanggal 16 Januari 2010.
Anonymous, “Stress and Health Solution”, diakses dari  www.MedDzik.org pada tanggal 15 Januari 2010.
Astowo, Pudjo, 2005, “Terapi oksigen”, Ilmu Penyakit Paru. Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Jakarta:  FK UI.
Ganong, F. William, 2003, “ Fisiologi Kedokteran”, Edisi 20, Jakarta: EGC.
Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, edisi 9, Jakarta: EGC.
Latief, A. Said, 2002, “Petunjuk Praktis Anestesiologi”, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intesif, Jakarta: FK UI.
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., 2006, “Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit”, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.
Singh, CP., Brar, Gurmeet K., et al, 2001, “Emergency Medicine: Oxygen Therapy”, Journal, Indian Academy of Clinical Medicine _ Vol. 2, No. 3, diakses dari www.medind.com/nic/injact pada tanggal 15 Januari 2010.
South Durham Health Care NHS, 2000, “Guideline for the Management of Oxygen Therapy”, diakses dari www.ndhd.com/nhs.uk.content.clinguide pada tanggal 15 Januari 2010.
Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang, dkk., 2006, “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam”, edisi ke-4, jilid I, Jakarta : FK UI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar