Minggu, 17 Juli 2011

Manajemen Perioperatif Pada Hipertensi

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyebab terbesar dari penyakit jantung dan merupakan faktor resiko paling penting yang dapat di modifikasi bagi penyakit Jantung Koroner ( penyebab kematian tertinggi di Amerika Utara ), stroke ( penyebab kematian no 3 di Amerika Utara ), Gagal Jantung Kongestif, Gagal Ginjal Terminal, Penyakit Pembuluh Darah Perifer.
Data yang diperoleh dari Framingham Heart Study menyatakan bahwa prevalensi hipertensi tetap akan meningkat meskipun sudah dilakukan deteksi dini dengan dilakukan pengukuran tekanan darah (TD) secara teratur. Pada populasi berkulit putih ditemukan hampir 1/5 mempunyai tekanan darah sistolik (TDS) lebih besar dari 160/95 mmHg dan hampir separuhnya mempunyai TDS lebih besar dari 140/90 mmHg. Prevalensi hipertensi tertinggi ditemukan pada populasi bukan kulit putih.


Dari hasil survey Badan Kesehatan International, di berbagai Negara di belahan dunia menunjukkan prevalensi tinggi dari hipertensi yang tidak terkontrol. Dalam studi tersebut dilaporkan bahwa prevalensi dari hipertensi adalah 22 % di  Kanada, sedangkan yang terkontrol hanya 16 %; di Egypt ( Mesir ) terdapat 26,3 % angka kejadian hipertensi dan hanya 8 % yang terkontrol; di China juga terdapat angka kejadian hipertensi sebanyak 13,6 % dan yang terkontrol hanya 3 %. Sedangkan di Negara maju seperti Amerika, penderita hipertensi yang diobati sebanyak 59 % dan yang terkontrol hanya 34 %, di berbagai Negara di Eropa penderita hipertensi yang tidak diobati sebesar 73 % dan dari yang diobati, 70 % tidak terkontrol ( Chobanian et al, 2003 ; Mancia et al, 2007 ; Wolf – Maier et al, 2004 ).
Di Indonesia, data dari penelitian yang dilakukan Division of Nephrology & Hypertension, FK UGM di Yogyakarta melaporkan bahwa dari 9 dusun di Sleman dengan jumlah penduduk 7.356, didapatkan penderita hipertensi sebesar 11,4 % ( Sja’bani et al, 2008 ).
Data dari National Health Examination surveys menyebutkan bahwa usia juga mempengaruhi prevalensi dari hipertensi sebesar 18 -32 %. Di Indonesia, dari laporan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI didapatkan angka kekerapan penyakit hipertensi pada golongan usia 45-55 tahun adalah 19,5% yang meningkat menjadi 30,6% di atas usia 55 tahun.
Hipertensi yang tidak terkontrol yang dibiarkan lama akan mempercepat terjadinya arterosklerosis dan hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor terjadinya penyakit-penyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler.

DEFINISI
Tekanan darah adalah gaya dan usaha darah pada dinding arteri ketika jantung berkontraksi memompa darah ( tekanan sistolik ) dan gaya saat jantung berelaksasi sehingga darah masuk ke dalam jantung ( tekanan diastolik ). Tekanan darah diukur dengan satuan mmHg. Tekanan darah ditentukan oleh cardiac output dan total peripheral resistance. Diregulasi oleh beberapa umpan balik fisiologis, antara lain :
1.      Mekanisme vasomotor sentral yang mempengaruhi system syaraf simpatis.
2.      Natriuresis yang meregulasi volume cairan ekstraseluer dengan pemasukan natrium.
3.      Pertukaran Natrium dan Kalsium intraseluler.
4.      Sistem Renin Angiotensin Aldosteron dan system simpatoadrenal.
Perubahan pada tekanan darah yang dihasilkan oleh peningkatan aktifitas pada salah satu mekanisme tersebut diatas diatas direspon oleh baroreseptor melalui sirkulasi ( Klingman, 1996 ).
Tekanan sistolik yang tinggi merupakan indikator yang signifikan untuk komplikasi jantung, termasuk kematian pada semua usia, tetapi terutama pada usia paruh baya dan usia lanjut. Fakta memnunjukkan bahwa peningkatan tekanan sistolik merupakan bahaya yang signifikan untuk serangan jantung dan serangan stroke meskipun tekanan diastoliknya normal, kondisi ini dinamakan isolated systolic hypertension. Semakin lebar rentang antara waktu pengukuran tekanan sistolik dan diastolik, semakin besar bahayanya. Isolated systolic hypertension adalah bentuk hipertensi yang paling sering pada usia lebih dari 50 tahun. Salah satu studi mengungkapkan bahwa isolated systolic hypertension terdapat pada 87% kasus hipertensi pada usia 50-59 tahun. Sedangkan tekanan diastolic adalah prediktor yang kuat pada serangan jantung dan stroke pada dewasa muda dan pada semua usia dengan hipertensi esensial.
Faktor – faktor yang mempengaruhi tekanan darah antara lain isi sekuncup ( stroke volume ), elastic recoil dari aorta dan arteri besar, tahanan pembuluh darah perifer dan viskositas ( kekentalan ) darah. Keadaan – keadaan dari luar yang dapat mempengaruhi tekanan darah ialah stress, emosi, rasa nyeri, latihan fisik, posisi tubuh ( Karjono, 2003 ).

DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI HIPERTENSI
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik diatas 140 mmHg dan aliran tekanan darah diastolik diatas 90 mmHg pada individu tanpa menggunakan obat hipertensi.
Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras. Batas atas tekanan darah normal yang diijinkan adalah sebagai berikut :

KELOMPOK
TEKANAN DARAH
Dewasa
140/90 mmHg
Dewasa muda (remaja)
100/75 mmHg
Anak usia prasekolah
85/55 mmHg
Anak < 1 tahun (infant)
70/45 mmHg

Pada Seventh Report of Joint National Committee on Prevention Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure ( JNC VII report ) 2003 serta ESH – ESC 2007 tekanan darah pada dewasa ( 18 tahun atau lebih  ) dibagi menjadi beberapa klasifikasi, ditunjukkan pada table di bawah ini :
ESH - ESC BP Classification
BP
BP
JNC VII BP Classification
Optimal
< 120 / < 80
< 120 / < 80
Normal
Normal
120 - 129 / 80 - 84
120 - 129 / 80 -84
Pre Hypertension
High Normal
130 - 139 / 85 - 89
130 -139 / 85 -89
Pre Hypertension
Grade 1 Hypertension
140 - 159 / 90 - 99
140 -159 / 90 -99
Stage 1 Hypertension
Grade 2 Hypertension
160 -179 / 100 - 109
> 160 / > 100
Stage 2 Hypertension
Grade 3 Hypertension
≥ 180 / ≥ 110
Isolated Sistolic Hypertension
≥ 140
≤ 90
Isolated Sistolic Hypertension

Klasifikasi di atas untuk dewasa 18 tahun ke atas. Hasil pengukuran TD dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan waktu pengukuran, emosi, aktivitas, obat yang sedang dikonsumsi dan teknik pengukuran TD. Kriteria ditetapkan setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan dan adanya riwayat peningkatan TD darah sebelumnya. Penderita dengan klasifikasi prehipertensi mempunyai progresivitas yang meningkat untuk menjadi hipertensi.
Nilai rentang TD antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali berkembang menjadi hipertensi dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah dari
nilai itu.
Di samping itu klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat dibagi dalam 2
penyebab dasar, yaitu sebagai berikut:
1. Hipertensi primer (esensial, idiopatik).
2. Hipertensi sekunder:
A. Hipertensi sistolik dengan tekanan nadi melebar:
• Regurgitasi aorta, tirotoksikosis, PDA.

B. Hipertensi sistolik dan diastolik dengan peningkatan SVR:
• Renal: glomerulonefritis akut dan kronis, pyelonefritis, polikistik ginjal, stenosis arteri renalis.
• Endokrin: Sindroma Chusing, hyperplasia adrenal congenital, sindroma
Conn (hiperaldosteronisme primer), phaeochromacytoma, hipotiroidisme.
• Neurogenik: peningkatan TIK, psikis (WhiteCoat Hypertension), porfiria akut, tanda-tanda keracunan.
• Penyebab lain: coarctation dari aorta, polyarteritis nodosa , hiperkalsemia,
peningkatan volume intravaskuler (overload).

PATOGENESIS TERJADINYA HIPERTENSI
Hanya berkisar 10-15% kasus hipertensi yang diketahui penyebabnya secara spesifik. Hal ini penting menjadi bahan pertimbangan karena beberapa dari kasus-kasus hipertensi tersebut bisa dikoreksi dengan terapi definitif pembedahan, seperti penyempitan arteri renalis, coarctation dari aorta, pheochromocytoma, cushing’s disease, akromegali, dan hipertensi dalam kehamilan. Sedangkan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya sering disebut sebagai hipertensi esensial.
Hipertensi esensial menduduki 80-95% dari kasus-kasus hipertensi.
Secara umum hipertensi selalu dihubungkan dengan ketidaknormalan peningkatan aktivitas simpatis, yaitu terjadi peningkatan baseline dari curah jantung (CO), seperti pada keadaan febris, hipertiroidisme atau terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah perifer (SVR) atau kedua-duanya.
Peningkatan SVR merupakan penyebab hipertensi pada mayoritas penderita hipertensi. Pola perkembangan terjadinya hipertensi, awalnya CO meningkat, tetapi SVR dalam batas-batas normal. Ketika hipertensi semakin progresif, CO kembali normal tetapi SVR meningkat menjadi tidak normal. Afterload jantung yang meningkat secara kronis menghasilkan LVH (left ventricle hypertrophy) dan merubah fungsi diastolik.
Hipertensi juga merubah autoregulasi serebral sehingga cerebral blood flow (CBF) normal untuk penderita hipertensi dipertahankan pada tekanan yang tinggi.
Tekanan darah berbanding lurus dengan curah jantung dan SVR, dimana persamaan ini dapat dirumuskan dengan menggunakan hukum Law, yaitu:

BP = CO x SVR

Secara fisiologis TD individu dalam keadaan normal ataupun hipertensi, dipertahankan pada CO atau SVR tertentu. Secara anatomik ada 3 tempat yang mempengaruhi TD ini, yaitu arterial, vena-vena post kapiler (venous capacitance) dan jantung. Sedangkan ginjal merupakan faktor keempat lewat pengaturan volume cairan intravaskuler. Hal lain yang ikut berpengaruh adalah baroreseptor sebagai pengatur aktivitas saraf otonom, yang bersama dengan mekanisme humoral, termasuk sistem rennin-angiotensin-aldosteron akan menyeimbangkan fungsi dari keempat tersebut.
Faktor terakhir adalah pelepasan hormon-hormon lokal yang berasal dari endotel vaskuler dapat juga mempengaruhi pengaturan SVR. Sebagai contoh, nitrogen oksida (NO) berefek vasodilatasi dan endotelin-1 berefek vasokonstriksi.

FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBAT ANTIHIPERTENSI
Obat antihipertensi bekerja pada reseptor tertentu yang tersebar dalam tubuh.  Kategori obat antihipertensi dibagi berdasarkan mekanisme atau prinsip kerjanya, yaitu:
1.      Diuretika, menurunkan TD dengan cara mengurangi natrium tubuh dan volume darah, sehingga CO berkurang. Contohnya: golongan thiazide, loop diuretics.
2.      Golongan simpatolitik / simpatoplegik, menurunkan TD dengan cara menumpulkan refleks arkus simpatis sehingga menurunkan resistensi pembuluh darah perifer, menghambat fungsi kardiak, meningkatkan pengisian vena sehingga terjadi penurunan CO. Contohnya: beta dan alpha blocker, methyldopa dan clonidine, ganglion blocker, dan post ganglionic symphatetic blocker (reserpine, guanethidine).
3.      Vasodilator langsung, menurunkan TD dengan cara relaksasi otot-otot polos vaskuler. Contoh: nitroprusside, hydralazine, calcium channel blocker.
4.      Golongan penghambat produksi atau aktivitas Angiotensin, penghambatan ini menurunkan resistensi perifer dan volume darah, yaitu dengan menghambat angiotensin I menjadi angiotensin II dan menghambat metabolisme dari bradikinin.

MANAJEMEN PERIOPERATIF PENDERITA HIPERTENSI
Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Penderita Hipertensi
Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu:
1.      Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya
2.      Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi.
3.      Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.
4.      Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.

Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu relative hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya aritmia.
Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat.
Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD secara farmakoligis akan menurunkan mortalitas akibat penyakit jantung sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan penyakit arteri koronaria sebesar 16%.

Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi
Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi.
Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik.
Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%.
 Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri.
Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi.
The American Heart Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS ≥ 180 mmHg dan/atau TDD ≥ 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi.
Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperative yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.

Perlengkapan Monitor
Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta maksud dan tujuan penggunaanya:
1.      EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multiple lead ST, karena pasien hipertensi punya risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.
2.      TD: monitoring secara continuous TD adalah esensial kateter Swan-Ganz: hanya digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCI berulang.
3.      Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan perifer.
4.      Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita mempertahankan kadar CO2.
5.      Suhu atau temperature

Premedikasi
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepine atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel.
Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.

Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.
Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi.
1.      Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10 menit.
2.      Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25-0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1 mikrogram/kgbb).
3.      Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.
4.      Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
5.      Menggunakan anestesia topikal pada airway.

Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi. Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi.


Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu lebar.
Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif.
Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:
1.      Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.
2.      Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi otak.
3.      Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke.
4.      Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan yang terjadi pada serebral.

Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid +N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia.
Anestesia re gional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia.
Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan yang direkomendasikan, penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm.
Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi tidak memerlukan monitoring yang khusus. Monitoring intra-arterial secara langsung diperlukan terutama untuk jenis operasi yang menyebabkan perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk penderita yang mengalami masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter vena sentral diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita yang mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang lain.

Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang tidak berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi secara parenteral (lihat tabel 1), namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan terlebih dahulu.


Tabel 1. Antihipertensi parenteral untuk mengatasi hipertensi akut :
Nama Obat
Rentang dosis
Onset
Durasi kerja
Nitropruside
0,5-10 mcg/kgbb
30-60 detik
1-5menit
Nitroglyserin
0,5-10 mcg/kgbb
1 menit
3-5 menit
Esmolol
 0,5 mg/kgbb selama 1 menit; 50-300 mcg/
kgbb/menit
1 menit
12-20 menit
Labetatol
5-20 mg
1-2 menit
4-8 jam
Propanolol
1-3 mg
1-2 menit
4-6 jam
Trimethapane
1-6 mg/menit
1-3 menit
10-30 menit
Phentolamine
1-5 mg
1-10 menit
20-40 menit
Diazoxide
1-3 mg/kgbb perlahan
2-10 menit
4-6 jam
Hydralazine
5-20 mg
5-20 menit
4-8 jam
Nifedipine
10 mg
5-10 menit
4 jam
Methyldopa
250-1000 mg
2-3 jam
6-12 jam
Nicardipine
0,25-0,5 mg5-15 mg/jam
1-5 menit
3-4 jam
Enalaprilate
0,625-1,25 mg
6-15 menit
4-6 jam
Fenoldopam
0,1-1,6 mg/kgbb/menit
5 menit
5 menit

Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut. Berikut ini ada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan:
1.      Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien dengan fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada bronkospastik.
2.      Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.
3.      Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai onset yang lambat.
4.      Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada hipertensi sedang sampai berat.
5.      Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi atau pencegahan iskemia miokard.
6.      Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi ginjal.
7.      Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.

Krisis Hipertensi
Dikatakan krisis hipertensi jika TD lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan dapat dikategorikan dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkan ada tidaknya ancaman kerusakan target organ atau kerusakan target organ yang progresif. Pasien dengan hipertensi sistemik kronis dapat mentoleransi TDS yang lebih tinggi dibandingkan individu yang sebelumnya normotensif dan lebih mungkin mengalami hipertensi yang sifatnya urgensi dibandingkan emergensi.
Hal - hal yang paling sering menimbulkan krisis hipertensi adalah antara lain karena penggunaan obat antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas autonom, obat-obat penyakit kolagen-vaskuler, glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia seperti pheokromasitoma, preeclampsia dan eklampsia. Manifestasi klinis yang timbul adalah sesuai dengan target organ yang rusak akibat hipertensi ini.
Krisis hipertensi terbagi atas hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi adalah pasien dengan bukti adanya kerusakan target organ yang sedang terjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan intra serebral, kegagalan ventrikel kiri akut dengan edema paru, unstable angina, diseksi aneurisme aorta, IMA, eclampsia, anemia hemolitik mikro angiopati atau insufisiensi renal) yang memerlukan intervensi farmakologi yang tepat untuk menurunkan TD sistemik.
Ensefalopati jarang terjadi pada pasien dengan hipertensi kronis sampai TDD melebihi 150 mmHg sedangkan pada wanita hamil yang mengalami hipertensi dapat mengalami tanda-tanda ensefalopati pada TDD < 100 mmHg. Sehingga walaupun tidak ada gejala, wanita hamil dengan TDD > 109 mmHg dianggap sebagai hipertensi emergensi dan memerlukan terapi segera. Bila TD diturunkan secara cepat akan terjadi iskemia koroner akut, sehingga MAP diturunkan sekitar 20% dalam 1 jam pertama, selanjutnya pelan-pelan diturunkan sampai160/110 selama 2-6 jam. Tanda-tanda penurunan TD ditoleransi dengan baik adalah selama fase ini tidak ada tanda-tanda hipoperfusi target organ.
Hipertensi urgensi adalah situasi dimana TD meningkat tinggi secara akut, namun tidak ada bukti adanya kerusakan target organ. Gejala yang timbul dapat berupa sakit kepala, epitaksis atau ansietas. Penurunan TD yang segera tidak merupakan indikasi dan pada banyak kasus dapat ditangani dengan kombinasi antihipertensi oral bertahap dalam beberapa hari.

Manajemen Postoperatif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi.3,10 Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi
ada banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih.
Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu. Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri
sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat
antihipertensi pasca bedah tetap diberikan.
Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan beta-blocker yang terutama digunakan untuk mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor.
Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside.
Apabila penderita sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai.


KESIMPULAN
Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai, dengan angka penderita yang cukup tinggi. Hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor yang bisa menyebabkan terjadinya komplikasi seperti penyakit - penyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler. Mengingat tingginya angka kejadian dan komplikasi yang bisa ditimbulkan oleh penyakit hipertensi ini, maka perlu adanya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif. Manajemen perioperatif dimulai sejak evaluasi prabedah, selama operasi dan dilanjutkan sampai periode pasca bedah.
Evaluasi prabedah sekaligus optimalisasi keadaan penderita sangat penting dilakukan untuk meminimalkan terjadinya komplikasi, baik yang terjadi selama intraoperatif maupun yang terjadi pada pasca pembedahan. Goncangan hemodinamik mudah terjadi, baik berupa hipertensi maupun berupa hipotensi, yang bisa menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi. Hal ini harus diantisipasi dengan perlunya pemahaman tentang teknik anestesia yang benar, manajemen cairan perioperatif, pengetahuan farmakologi obat-obat yang digunakan, baik obat-obatan antihipertensi maupun obat - obatan anestesia serta penanganan nyeri akut yang adekuat.
Dengan manajemen perioperatif yang benarterhadap penderita-penderita hipertensi yang akan menjalani pembedahan, diharapkan bisa menurunkan atau meminimalkan angka morbiditas maupun mortalitas.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Anonim. 2003. The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,  Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure, American Medical Association, National Institutes of Health.  
2.      The sixth report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Arch Intern Med 1997;157:2413-2446. [Erratum, Arch Intern Med 1998;158:573.]
3.      Chobanian AV, Bakris GL, Black HR etc. National heart, lung, and blood institute joint national committee on prevention. Detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. JNC 7 report.
4.      Mancia G ., De Backer G etc. 2007. ESH – ESC Practice Guidelines, for the Management of Arterial Hypertension. J Hypertens 2007.
5.      Sja’bani M, Bawazier L.A, Irijanto et al. 2008. Endhotelin and Hypertension. Unpublished 2008.
6.      Sja’bani M, Wijayanti Y S, Irijanto F et al. Mikroalbuminuria dan Hipertensi : studi epidemiologi di wilayah puskesmas Mlati 2 Kecamatan Sleman Kab Sleman. Unpublished 2008.
7.      Murray MJ. Perioperative hypertension: evaluation and
management; Available at:
http://www.anesthesia.org.cn/asa2002/rcl.source/512Murray.pdf. Accesed Aug 13th2007.
8.      The seventh report of Joint National Committee on Prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure, NIH publication No.03-5233, December 2003.
9.      Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with cardiovaskular disease. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill;
2006.p.444-52.
10.  Perez-Stable EJ. Management of mild hypertension-selecting an antihypertensive regimen. West J Med 1991;154:78-87.
11.  Yao FSF, Ho CYA. Hypertension. Anesthesiology problem oriented patient manajement. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2003.p.337-57.
12.  Anderson FL, Salgado LL, Hantler CB. Perioperative hypertension (HTN). Decision making in anesthesiology-an algorithmic approach. 4th ed. Philadhelpia: Elsevier; 2007.p.124-6
13.  Kuwajerwala NK. Perioperative medication management; Available at: http://www. emedicine.com/MED/ topic3158.htm. Accessed Aug 18th 2007.
14.  Neligan P. Hypertension and anesthesia; Availableat: http:// www. 4um.com/tutorial/anaesthbp.htm.Accessed Aug 16th 2007.
15.  BenowitzNL.Antihypertensive agent-cardiovaskular-renal drugs. In: Katzung BG, edi-tor. Basic and clinical pharmacology. 9th ed. NewYork: McGraw-Hill; 2004.p.160-83.
16.  Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension. In: Hines RL, Marschall KE, editors. Stoelting’s anesthesia and co-existingdisease. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2008.p.87-102.
17.  Stier GR. Preoperative evaluation and testing. In:Hines RL, editor. Adult perioperative anesthesia-the requisites in anesthesiology. Philadelphia:Elsevier; 2004.p.3-82.
18.  Dix P, Howell S. Survey of cancellation rate of hypertensive patient undergoing anesthesia and elective surgery. British Journal of Anesthesia 2001;86(6):789-93.
19.  Kaplan NM. Perioperative management of hypertension. In: Aronson MD, Bakris GL. editors. Available at: www.uptodate.com. Accessed Aug 16th 2007.
20.  Laslett L. Hypertension-preoperative assessment and perioperative management. West J Med 1995;162:215-9.
21.  Hanada, et al. Anesthesia and medical disease-hypertension and anesthesia. Current Opinion in Anesthesiology 2006;19(3):315-9.
22.  Howell SJ, Foex P. Hypertension, hypertensive heart disease and perioperative cardiac risk. British Journal of Anesthesia 2004;92(4):570-83.
23.  Paix AD, et al. Crisis management during anesthesia: hypertension. Qual Saf Health Care
2005;14:e12.
24.  Barisin S, et al. Perioperatif blood pressure control in hypertensive and normotensive patient undergoing off-pump coronary bypass grafting. Croat Med J 2007;48:341-7.
25.  Common problem in the cardiac surgery recovery unit in perioperative care. In: Cheng DCH, David TE, editors. Cardiac anesthesia and surgery. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.p.1178-22.
26.  H y p e r t e n s i v e e m e r g e n c i e s . Av a i l a b l e
a t :www.ehs.egypt.net/pdf/11-guideline.pdf. Accessed Aug 13th 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar