Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Minggu, 17 Juli 2011

Staphylococcal Scalded Skin Syndrom (SSSS)


  1. Prevalensi
                  Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) merupakan penyakit pada neonatus dan anak-anak. S4 jarang terjadi pada dewasa kecuali dengan gangguan ginjal, defisiensi imun dan penyakit kronik. Prevalensi pada anak kurang dari 2 tahun sebesar 62% dan hampir seluruh kasus terjadi pada anak kurang dari 6 tahun (98%). Rasio pada pria dan wanita adalah 2:1.
                  Anak-anak merupakan faktor resiko pada SSS karena kekurangan imunitas dan kemampuan renal imatur dalam pembersihan toksin (toksin exfoliative). Antibodi maternal dapat ditransfer kepada infant melalui ASI tetapi SSSS masih dapat terjadi karena inadekuat imunitas dan imatur ginjal.



  1. Etiologi
Infeksi disebabkan karena Staphylococcus Aureus 3a, 3b, 55 dan 57 phage II yang menghasilkan eksfoliatin toksin A (ETA) dan eksfoliatin toksin B (ETB). Eksfoliatin toksin ini bersifat epidermolitik.

  1. Patogenesis
                  ETA dan ETB beraksi pada protein desmoglein (DG-1) yang merupakan protein di epidermis superficial (seperti pada gambar 1). Inisial infeksi terjadi pada oral, nasal cavities, laring atau umbilikus. Toksin epidermolitik yang diproduksi oleh Staphylococcus Aureus menyebabkan ruam kemerahan dan menyebar ke dalam epidermis kemudian bula muncul dan akhirnya terjadi deskuamasi.
                  ETA dan ETB merupakan protease serin yang mempunyai target spesial yaitu desmoglein-1. Mereka juga merupakan superantigen yang mengaktivasi makrofag untuk memproduksi proinflamatori sitokin seperti TNF alpha dan IL-6. Ikatan desmoglein-1 dengan toksin eksfoliatif staphylococcus aureus menyebabkan terbentuknya antibodi IgG spesifik desmoglein-1

Mekanisme SSSS secara umum:

ETA dan ETB disekresikan Staphylococcus Aureus phage II
Toksin menyebar lewat sirkulasi
Epidermolisis
(Pemecahan stratum granulosum dan stratum spinosum pada protein desmoglein)

                  SSSS merupakan bentuk berbeda dari impetigo bulosa, keduanya merupakan penyakit kulit yang berlepuh yang disebabkan oleh toksin eksfoliatif dari staphylococcus. Perbedaanya adalah impetigo bulosa hanya terdapat pada area lokal sedangkan pada SSSS kerusakan epidermal menyebar luas keseluruh tubuh (penyebaran secara hematogen). Perbedaan SSS dengan TEN adalah infeksi SSS hanya sebatas intraepidermal sedangkan infeksi TEN pada seluruh lapisan epidermis (sampai membran basal).

  1. Tanda dan Gejala


Pada SSSS akan terjadi demam kemudian muncul ruam eritem (tender rash) pada muka, badan dan ekstermitas kemudian dalam waktu 24-48 jam berkembang menjadi bula yang besar dan mudah rupture kemudian mengelupas. Lesi akan mengering dan dalam waktu 7 sampai 14 hari terjadi regenerasi epidermis tanpa menimbulkan jaringan parut.

      Tanda dan gejala SSSS meliputi:
    1. Gejala prodormal lokal meliputi infeksi Staphylococcus Aureus pada kulit, laring, hidung, mulut, umbilikus dan traktur gastrointestinal, sebelum ruam kemerahan muncul
    2. Ruam kemerahan yang diikuti dengan eksfoliatif epidermal difus
    3. General Malaise
    4. Demam
    5. Iritabel

Pemeriksaan fisik SSSS meliputi :
a.       Demam
b.      Nyeri pada palpasi
c.       Hangat pada palpasi
d.      Ruam eritem
e.       Tanda nikolsky (+)
f.       Eksfoliasi pada kulit
g.      Edem fasial
h.      Krusta pada perioral

  1. Diagnosis Banding
-          Luka bakar akibat kimia
-          Luka bakar akibat panas
-          Selulitis
-          Dermatitis Kontak
-          Erisipelas
-          Impetigo
-          Steven Johnson Syndrome

  1. Pemriksaan Penunjang
    1. Pemeriksaan Laboratorium
a.       Pemeriksaan Gram
b.      Kultur (mata, tenggrorok) untuk mengetahui S. Aureus.
c.       Pemeriksaan darah (WBC, ESR)
d.      Pemeriksaan PCR

    1. Pemeriksaan Histologi
Pemeriksaan pada tepi bula untuk melihat lapisan kulit (epidermis) sehingga dapat mengetahui aktivitas epidermolitik kulit.

    1. Biopsi kulit
                  Pemeriksaan biopsi pada daerah kulit yang terinfeksi akan terlihat gambaran pemisahan epidermis pada lapisan granular.

  1. Terapi
                        Terapi untuk SSS meliputi terapi antibiotik oral yaitu:
    1. Dicloxacillin
                  Dicloxacilin digunakan untuk terapi infeksi staphylococcus dengan dosis dewasa 125-500 mg per oral setiap 6 jam (maksimal 2 g per hari) sedangkan dosis neonatal 4-8 mg/ kg berat badan per oral setiap 6 jam (<40 kg 12,5-50 mg/ kg/ hari per oral dan > 40 kg 125-500 mg per oral setiap 6 jam).

    1. Cloxacillin
                  Cloxacillin menghambat sintesis dinding sel bakteri. Dosis cloxacillin pada dewasa yaitu 250-500 mg per oral setiap 6 jam dan dosis pada pediatrik yaitu pasien < 20 kg sebanyak 50-100 mg/ kg/ hari per oral dibagi setiap 6 jam (tidak boleh melebihi 4 g per hari). Pada anak > 20 kg diberikan dosis sesuai dengan dosis dewasa.

    1. Mupirocin
                  Mupirocin berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara menghambat sintesis RNA dan protein. Cara penggunaan pada dewasa adalah dioleskan tipis pada area yang terkena 2-5 kali per hari selama 5-14 hari dan pada anak-anak cara penggunaan sama seperti pada pasien dewasa.
Terapi pada neonatal premature dengan pemberian dosis tunggal immunoglobulin (IVIG) sebanyak 1 g/ kg dapat membantu mempercepat penyembuhan.

  1. Komplikasi
                  Komplikasi biasanya meliputi sepsis, superinfeksi dan dehidrasi akibat gangguan keseimbangan elektrolit. Selulitis, sepsis dan pneumonia merupakan komplikasi lain yang mungkin terjadi pada anak dengan SSSS.

  1. Prognosis
Angka mortalitas SSSS pada anak sangat rendah (1-5 %) sedangkan pada dewasa cukup tinggi (50-60%). Morbiditas SSSS meliputi penyebaran lokal infeksi.
                  SSSS pada anak dapat sembuh dalam 10 hari tanpa menyebabkan jaringan parut. Sedangkan prognosis SSSS pada dewasa tergantung pada status imun penderita, inisial terapi yang tepat lebih awal, perjalanan infeksi dan komplikasi.

  1. Pencegahan
Pengenalan potensi epidemik SSSS pada neonatal intensive care unit (NICU) sangat penting meliputi:
-          Identifikasi pekerja kesehatan yang terinfeksi Staphylococcus Aureus sehingga tidak melakukan penularan pada neonatal melalui prosedur perawatan umbilkus (nosokomial infeksi).
-          Prosedur pemakaian chlorhexidine hand washing pada pekerja kesehatan.                        


1 komentar:

  1. mhon nanya pak. bagaimana kaitan infalamatori dengan cel B dan sel T. ...
    apakah ia penekanan pada sel T dan peningkatan sel B maka terjadi proinflamatori
    gimana dnegan reseptornya pak.
    terima kasih .

    salam
    wael

    BalasHapus