Rabu, 17 Agustus 2011

Toxoplasmosis Penyebab Blighted Ovum


Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Penyebab utama abortus spontan pada kehamilan trimester pertama adalah blighted ovum, terhitung sebesar 50% dari semua kejadian abortus pada kehamilan trimester pertama. Diperkirakan kejadian blighted ovum salah satunya diakibatkan oleh adanya infeksi TORCH (Toxoplasma, Rubella, Citomegalovirus, Herpes Simpleks).

Pada kasus blighted ovum yang disebabkan oleh infeksi TORCH, khususnya toxoplasmosis sebagian besar orang yang terinfeksi tidak memperlihatkan gejala klinis yang nyata. Infeksi T. gondii merupakan penyebab utama kematian janin karena T. gondii dapat ditularkan ke janin melalui plasenta (transplasenta) dari ibu yang terinfeksi atau saat melahirkan pervaginam. Selanjutnya, toksoplasmosis terlibat dalam aborsi, prematur, kelahiran mati dan kematian postnatal awal. T. gondii juga dapat menyebabkan kerusakan serius pada organ jaringan yang berbeda dari inang terinfeksi yang tergantung pada tempat di mana bentuk kista nya.

Mekanisme imunitas toxoplasmosis yang seperti apa yang dapat mempengaruhi terjadinya blighted ovum sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Hal ini kemungkinan dikarenakan oleh sulitnya memperoleh bahan biopsi yang cocok, penyelidikan gagal untuk memberikan data informatif pada tahap infeksi dan pengaruh perlakuan yang diberikan.
Faktor biaya juga tidak dipungkiri menjadi kendala karena biasanya membutuhkan dana yang tidak sedikit baik dari segi pegumpulan sampel maupun pada proses penelitiannya sendiri.


Tinjauan Pustaka
A.Blighted Ovum
1.Definisi
Blighted ovum adalah keadaan dimana seorang wanita merasa hamil tetapi tidak ada janin di dalam kandungan. Blighted ovum (kehamilan anembrionik) merupakan kehamilan patologik, dimana mudigah tidak terbentuk sejak awal. Di samping mudigah, kantong kuning telur juga tidak ikut terbentuk. Seorang wanita yang mengalaminya juga merasakan gejala-gejala kehamilan seperti terlambat menstruasi, mual dan muntah pada awal kehamilan (morning sickness), payudara mengeras, serta terjadi pembesaran perut, bahkan saat dilakukan tes kehamilan baik test pack maupun laboratorium hasilnya pun positif.
Blighted ovum (anembryonic pregnancy) terjadi pada saat ovum yang sudah dibuahi menempel ke dinding uterus, tapi embrio tidak berkembang. Sel-sel berkembang membentuk kantong kehamilan, tapi tidak membentuk embrio itu sendiri. Blighted ovum biasanya terjadi pada trimester pertama sebelum wanita tersebut mengetahui tentang kehamilannya.

2. Etiologi
Blighted ovum biasanya merupakan hasil dari masalah kromosom dan penyebab sekitar 50% dari keguguran trimester pertama. Tubuh wanita mengenali kromosom abnormal pada janin dan secara alami tubuh berusaha untuk tidak meneruskan kehamilan karena janin tidak akan berkembang menjadi bayi normal dan sehat. Hal ini dapat disebabkan oleh pembelahan sel yang abnormal, atau kualitas sperma atau ovum yang buruk.
Sekitar 60% blighted ovum disebabkan kelainan kromosom dalam proses pembuahan sel telur dan sperma. Tubuh ibu mengenali  adanya kromosom yang abnormal pada janin dan secara alami tubuh berusaha untuk tidak melanjutkan kehamilan karena janin tidak akan berkembang menjadi  bayi normal yang sehat. Hal ini dapat disebabkan oleh pembelahan sel yang abnormal, atau kualitas sperma atau telur yang kurang baik.
Infeksi TORCH dan streptokokus, penyakit kencing manis (diabetes mellitus) yang tidak terkontrol, rendahnya kadar beta HCG serta faktor imunologis seperti adanya antibodi terhadap janin juga dapat menyebabkan blighted ovum. Risiko juga meningkat bila usia suami atau istri semakin tua karena kualitas sperma atau ovum menjadi turun.

3. Patofisiologi
Pada saat konsepsi, sel telur (ovum) yang matang bertemu sperma. Namun akibat berbagai faktor maka sel telur yang telah dibuahi sperma tidak dapat berkembang sempurna, dan hanya terbentuk plasenta yang berisi cairan. Meskipun demikian plasenta tersebut tetap tertanam di dalam rahim. Plasenta menghasilkan hormon hCG (human chorionic gonadotropin) dimana hormon ini akan memberikan sinyal pada indung telur (ovarium) dan otak sebagai pemberitahuan bahwa sudah terdapat hasil konsepsi di dalam rahim. Hormon hCG yang menyebabkan munculnya gejala-gejala kehamilan seperti mual, muntah, ngidam dan menyebabkan tes kehamilan menjadi positif. Karena tes kehamilan baik test pack maupun laboratorium pada umumnya mengukur kadar hormon hCG (human chorionic gonadotropin) yang sering disebut juga sebagai hormon kehamilan.

4.         Gejala danTanda
Blighted ovum sering tidak menyebabkan gejala sama sekali. Gejala dan tanda-tanda mungkin termasuk:
           Periode menstruasi terlambat
           Kram perut
           Minor vagina atau bercak perdarahan
           Tes kehamilan positif pada saat gejala
           Ditemukan setelah akan tejadi keguguran spontan dimana muncul keluhan perdarahan
           Hampir sama dengan kehamilan normal
           Gejala tidak spesifik (perdarahan spotting coklat kemerah-merahan, kram perut, bertambahnya ukuran rahim yang lambat)
           Tidak sengaja ditemukan dengan USG

5.         Diagnosis
1.         Anamnesis (tanda - tanda kehamilan)
2.         Pemeriksaan fisik
3.         Pemeriksaan penunjang (USG)  diagnosis pasti
Diagnosis kehamilanan embrionik bisa dilakukan saat kehamilan memasuki usia 6-7 minggu. Sebab saat itu diameter kantung kehamilan sudah lebih besar dari 16 milimeter sehingga bisa terlihat lebih jelas. Dari situ juga akan tampak, adanya kantung kehamilan yang kosong dan tidak berisi janin. Diagnosis kehamilan anembriogenik dapat ditegakkan bila pada kantong gestasi yang berdiameter sedikitnya 30 mm, tidak dijumpai adanya struktur mudigah dan kantong kuning telur.
 Gambar 1 : Blighted Ovum 
  Gambar 2 : Kehamilan Normal
6.         Pencegahan
Dalam banyak kasus blighted ovum tidak bisa dicegah. Beberapa pasangan seharusnya melakukan tes genetika dan konseling jika terjadi keguguran berulang di awal kehamilan. Blighted ovum sering merupakan kejadian satu kali, dan jarang terjadi lebih dari satu kali pada wanita.
Untuk mencegah terjadinya blighted ovum, maka dapat dilakukan beberapa tindakan pencegahan seperti pemeriksaan TORCH, imunisasi rubella pada wanita yang hendak hamil, bila menderita penyakit disembuhkan dulu, dikontrol gula darahnya, melakukan pemeriksaan kromosom terutama bila usia di atas 35 tahun, menghentikan kebiasaan merokok agar kualitas sperma/ovum baik, memeriksakan kehamilan yang rutin dan membiasakan pola hidup sehat.


B. Toxoplasmasis
            1. Definisi
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi vertebrata obligat intraselular, parasit protozoa yakni Toxoplasma gondii. Biasanya menyerang binatang menyusui, burung, dan manusia. Pola transmisinya adalah transpalsenta pada wanita hamil. Mempunyai masa inkubasi 10 – 23 hari bila penularan melalui makanan (daging yang kurang matang) dan 5 – 20 hari bila penularanya melalui kucing.

2. Bentuk Toxoplasma Gondii
Toxoplasma gondii memiliki tiga tahap infeksi yakni tahap sporozoite di ookista dalam tinja, secara cepat membagi diri menjadi takizoite yang ditemukan selama infeksi akut dan secara perlahan membagi diri menjadi bradyzoite yang ditemukan dalam kista selama infeksi laten.
Takizoite berbentuk bulan sabit, panjang sekitar 6 pM dan lebar 2 pM, dilapisi oleh tiga unit membran, yaitu sebuah plasmalemma dan membran dalam yang terdiri dari dua membran yang terletak berdekatan, yang semuanya membentuk pellicle. Berbagai organel menyusun takizoite termasuk cincin apikal dan kutub, rhoptries, micronemes, conoid, subpellicular mikrotubulus, mitokondria, micropores, reticula endoplasma halus dan kasar, kompleks golgi, ribosom dan inti yang terdiri dari kromatin massal dan nucleolus. Takizoite menyebar melalui sistem darah di limfosit, makrofag dan berada bebas dalam plasma dan dapat menginfeksi hampir semua jenis jaringan, terutama di mata, sistem saraf pusat, jantung, plasenta dan otot rangka. Takizoite mampu melintasi batas-batas jaringan, seperti barier darah-otak dan plasenta. Mereka mampu berkembang biak dengan cepat oleh endodyogeny dan replikasi sel tersebut, menyebabkan nekrosis sel ketika menyerang sel yang tidak dapat lagi menahan parasit ini. Replikasi takizoit terjadi selama 8-12 hari pertama dan bertambah untuk fase akut infeks. Tahap ini bertanggung jawab atas manifestasi klinis penyakit karena menghasilkan respon inflamasi yang kuat.
T. gondii menginduksi respon kekebalan tubuh tipe 1 yang kuat yakni T-cell-mediated, yang membatasi infeksi. Saat respon imun berlangsung, interferon-γ yang disekresikan oleh antigen-spesifik T-sel, membatasi replikasi takizoite. Takizoite sensitif terhadap enzim proteolitik sehingga bisa hancur selama proses pencernaan lambung. Tekanan dari sistem kekebalan inang pada parasit merangsang pembentukan kista dan menyebabkan takizoite berubah menjadi bradyzoite, menandai awal dari fase kronis.
Bradyzoite membagi parasit secara perlahan, lebih tahan terhadap enzim proteolitik dan karena itu dapat menyebabkan infeksi jika tertelan sebagai kista jaringan dengan host. Mereka ditemukan di kista jaringan, biasanya di otak dimana kista dalam bentuk bulat, dan pada jaringan otot di mana mereka memanjang. Jaringan kista dapat bertahan selama masa kehidupan inang dan bradyzoite bisa dilepaskan dari kista ini untuk membentuk takizoite lagi, menyebabkan infeksi kembali pada host immunocompromised.
Ookista berukuran 10 pM sampai 12 pM dan diproduksi dalam usus host definitif. Sporozoit ditemukan dalam ookista ini, yang biasanya ditemukan dalam tinja di tanah, tumbuhan dan sayuran.

3. Siklus Hidup Toxoplsma Gondii


4. Siklus hidup Toxoplasma gondii
T. gondii adalah parasit intraseluler obligat dan siklus hidupnya mencakup proliferasi dan transmisi baik secara seksual dan aseksual. Siklus seksual terjadi secara eksklusif dalam enterosit usus anggota keluarga kucing (Felidae). Setelah  kista jaringan tertelan, parasit menyerang  enterosit, menjalani beberapa putaran divisi serta berdiferensiasi menjadi microgametocytes dan macrogametocytes. Pengabungan gametosit-gametosit membentuk zigot atau ookista yang berpindah ke lingkungan dalam bentuk kotoran kucing. Ookista kemudian mengalami meiosis, menghasilkan oktet yakni sporozoit yang sangat menular, yang tahan terhadap kerusakan lingkungan dan dapat bertahan selama bertahun-tahun dalam lingkungan lembab. Setelah tertelan (oleh host sekunder seperti tikus), sporozoit dengan cepat berdifferensiasi dan membagi diri menjadi  tachyzoite, yang menyebabkan terjadinya infeksi akut. Selama infeksi akut, transmisi congenital pada perkembangan janin dapat terjadi. Dalam banyak host, fase kronis dari penyakit terjadi kemudian, karena perubahan dan pembagian diri tachyzoite  menjadi bentuk lain terjadi secara perlahan yang dikenal sebagai bradyzoite. Bradyzoite laten dalam kista jaringan bertahan selama kehidupan host, kadang-kadang muncul kembali, tapi tidak menimbulkan gejala klinis pada individu sehat. Carnivora yang menelan kista jaringan dapat menyebabkan infeksi host naif, yang memungkinkan untuk propagasi non-seksual T. Gondii tak terbatas. Pada kucing, hal ini akan memunculkan siklus seksual.

5.  Manifestasi klinis Toxoplasmosis Selama Kehamilan
Transmisi ke fetus terjadi sebagian besar pada wanita hamil yang mendapatkan infeksi primer selama kehamilan. Pada kasus yang jarang, transmisi kongenital terjadi pada infeksi kronik wanita yang sebelumnya terinfeksi dan kembali mengalami infeksi aktif karena kondisi immunocompromissed (misalnya AIDS atau menjalani pengobatan dengan kortikosteroid untuk penyakitnya).
Sebagian besar wanita hamil yang memperoleh infeksi akut didapat tidak mengalami gejala dan tanda yang nyata. Sebagian kecil mengalami letih lesu, demam ringan, dan limfadenopathy. Terkadang wanita hamil akan mengalami perubahan penglihatan karena chorioretinitis toxoplasmosis sebagai akibat dari infeksi langsung didapat atau reaktivasi infeksi kronis.
Penelitian saat ini menunjukkan bahwa 52% ibu hamil yang mempunyai bayi mengalami infeksi kongenital tidak dapat mengalami infeksi kembali selama kehamilan atau dapat diketahui faktor resiko secara epidemologi. Dalam kondisi immunocompromised berat (misal pasien terserang AIDS dan menerima dosis tinggi terapi immunosupressive, termasuk transplantasi recepient, keganasan, kelainan jaringan ikat), wanita hamil yang menderita infeksi kronis mengalami reaktivasi infeksi laten T.Gondii dan menghasilkan transmisi congenital  parasit ke fetus.

6. Diagnosis Toxoplasmosis Selama Kehamilan
Tes serologis dan PCR digunakan dalam usaha untuk mendiagnosis toksoplasmosis pada wanita hamil. Penularan parasit pada janin sering terjadi pada wanita hamil yang tidak memiliki riwayat penyakit selama kehamilan atau terpapar daging kurang matang atau kucing. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan tes serologi T. gondii selama kehamilan tidak boleh hanya berdasarkan klinis (misalnya atau tidak adanya gejala) atau epidemiologi (yaitu riwayat paparan T. gondii).
Skrining serologis sisitematis untuk antibodi IgG dan antibodi IgM T. gondii perlu dilakukan pada semua wanita hamil di awal kehamilan (idealnya selama trimester pertama) dan pada wanita seronegatif setiap bulan atau akan optimal pada trimester sesudahnya. Skrining tersebut memungkinkan untuk mendeteksi serokonversi dan inisiasi dini pengobatan. Meskipun penggunaan skrining serologi sistematis penting selama kehamilan, namun faktor-faktor seperti biaya, karakteristik demografi, ketersediaan tes yang sesuai, dan kejadian yang relatif rendah, serta kontroversi efektivitas pengobatan selama kehamilan dalam upaya untuk mencegah transmisi ke janin harus dipertimbangkan.

Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya :
a.         Tes serologis
Deteksi dari antibodi T. gondii pada serum digunakan untuk menentukan apakah wanita hamil  telah terinfeksi dan untuk menentukan apakah infeksi tersebut diperoleh baru-baru ini atau di masa lalu. Jika hasil tes serologi menunjukkan infeksi yang baru, kemudian menentukan apakah infeksi itu kemungkinan diperoleh selama kehamilan atau sesaat sebelum konsepsi untuk mengetahui kemungkinan janin beresiko.
Untuk diagnosis serologi digunakan IgG, IgM, IgA, dan IgE antibodi. Aviditas IgG dan tes aglutinasi diferensial telah berhasil membedakan infeksi akut dan kronis. Pengujian serologis untuk kedua antibodi IgG dan IgM harus dilakukan pada awal kehamilan. Pada sebagian besar kasus, pengujian awal kehamilan dapat menetapkan apakah tidak terjadi infeksi (tidak adanya antibodi IgG dan IgM) atau infeksi diperoleh di masa lalu (hasil tes IgG positif dan IgM negatif), bantuan tambahan dengan uji konfirmasi di laboratorium rujukan diperlukan terutama untuk pasien dengan hasil tes Ig M positif atau samar-samar.
Perlu ditekankan bahwa hasil tes positif IgM sebelum atau selama kehamilan tidak selalu berarti infeksi baru. Antibodi IgM dapat bertahan selama 1 tahun setelah infeksi akut, dan hasil tes antibodi IgM paling positif didapatkan pada wanita hamil yang memperoleh infeksi di masa lalu dan di luar periode janin beresiko. Hasil tes antibodi IgM positif yang tinggi menimbulkan pertanyaan apakah infeksi baru saja terjadi, sehingga mengharuskan uji konfirmasi di laboratorium.
Hasil uji serologi menentukan apakah wanita hamil memperoleh infeksi selama atau sebelum kehamilan dan membantu dokter dalam manajemen kondisi pasien. Aviditas tinggi antibodi IgG meningkat setidaknya 12-16 minggu setelah infeksi. Kehadiran antibodi aviditas tinggi menunjukkan infeksi yang diperoleh minggu sebelumnya. Untuk wanita hamil di luar 16 minggu kehamilan, hasil tes  aviditas tinggi dapat membantu menetapkan bahwa infeksi tersebut diperoleh setidaknya 12-16 minggu awal kehamilan dimana tingkat transmisi akan lebih rendah namun potensi merusak janin akan lebih besar. Aviditas rendah atau hasil tes samar-samar dapat bertahan selama berbulan-bulan atau satu tahun atau lebih setelah infeksi primer sehingga tidak boleh digunakan sendiri untuk menentukan apakah infeksi itu baru saja terjadi.
Interpretasi akhir dari hasil uji serologi ada 3 kemungkinan:
1.         Hasil ini konsisten dengan infeksi baru diperoleh, dan dengan demikian kemungkinan bahwa pasien tertular infeksinya selama kehamilan atau sesaat sebelum konsepsi
2.         Hasil ini konsisten dengan infeksi yang diperoleh di masa lalu dan sebelum kehamilan
3.         Hasilnya samar-samar, yang biasanya membutuhkan sampel-up serum diikuti pengujian paralel

b.         PCR
Amplifikasi DNA T. gondii dalam cairan ketuban pada 18 minggu kehamilan (waktu optimal) atau lebih telah digunakan untuk diagnosis prenatal dari toksoplasmosis bawaan. Sensitivitas dan spesifisitas untuk cairan ketuban yang diperoleh sebelum 18 minggu kehamilan belum diteliti, di samping itu, prosedur yang dilakukan di awal kehamilan dikaitkan dengan risiko lebih tinggi untuk janin dan mungkin kurang bermanfaat. Sebuah studi definitif tentang penggunaan rutin PCR dari cairan ketuban yang diperoleh pada 18 minggu kehamilan atau lebih dilaporkan di Prancis memiliki sensitivitas 64% untuk diagnosis bawaan infeksi pada janin, nilai prediksi negatif 88%, dan spesifisitas 100% dan nilai prediktif positif 100% (yaitu, hasil positif menandakan infeksi janin). Usia kehamilan memiliki pengaruh signifikan terhadap sensitivitas dan nilai prediktif negatif. Sensitivitas secara statistik signifikan lebih tinggi bila infeksi ibu terjadi pada 17 - 21 minggu kehamilan, dibandingkan dengan bila infeksi terjadi sebelum 17 minggu atau setelah 21 minggu kehamilan. Namun, nilai prediktif negatif  PCR cairan ketuban dari wanita yang memperoleh infeksi di awal kehamilan (misalnya, sebelum minggu ke 7 kehamilan) adalah 100%  karena laju penularan sangat rendah selama waktu kehamilan.
Beban parasit dalam cairan ketuban merupakan faktor resiko untuk keparahan infeksi janin, di samping usia kehamilan. Infeksi ibu diperoleh sebelum 20 minggu kehamilan dengan beban parasit 1100 parasit per ml cairan ketuban dikaitkan dengan risiko tertinggi keparahan pada janin
Pemeriksaan cairan ketuban dengan PCR harus dipertimbangkan untuk ibu hamil yakni :
1.         memiliki hasil tes serologi diagnostik atau sangat sugestif terinfeksi yang diperoleh selama kehamilan atau sesaat sebelum konsepsi
2.         memiliki bukti kerusakan janin dengan pemeriksaan ultrasonografi (misalnya, ventriculomegaly atau hati atau kalsifikasi otak)
3.         secara signifikan imunosupressi sehingga timbul risiko reaktivasi infeksi laten
Dalam praktek klinis, amniosentesis pada dasarnya diganti darah janin untuk diagnosis toksoplasmosis bawaan, karena risiko inheren rendah dan sensitivitas yang lebih tinggi. Namun, amniosentesis mungkin kurang dianjurkan untuk pasien koinfeksi T. gondii dengan HIV, karena risiko menginfeksi janin dengan HIV selama amniosentesis tersebut. PCR juga dapat berguna untuk demonstrasi DNA parasit pada jaringan janin dan plasenta.

c.         USG
USG dianjurkan untuk wanita yang dicurigai atau didiagnosis dengan infeksi akut yang diperoleh selama atau sesaat sebelum kehamilan. USG dapat mengungkapkan adanya kelainan janin, termasuk hydrocephalus, otak atau hati kalsifikasi, splenomegali, dan ascites. Selain USG, CT  juga digunakan untuk mencari kalsifikasi otak, dan MRI digunakan untuk kelainan lain pada janin.

d.         Analisis histologi dan upaya untuk mengisolasi parasit
Terkadang, jaringan plasenta atau janin dari wanita hamil yang diduga terinfeksi akut selama kehamilan digunakan untuk menentukan apakah telah terjadi transmisi vertikal parasit. Kista T. gondii dapat digambarkan dalam jaringan dengan pengecatan Wright-Giemsa, namun lebih sensitif  dengan pewarnaan immunoperoxidase menggunakan antibodi T. gondii-spesifik. Isolasi parasit dapat dicoba dengan inokulasi dari jaringan ke dalam kultur jaringan atau tikus.

7. Manajemen Toxoplasmosis
Pada wanita hamil yang dicurigai atau menderita toxoplasmosis selama kehamilan perlu diketahui usia kehamilan. Jika usia kehamilan kurang dari 18 minggu dapat diberikan spiramicyn, perlu diperiksa fetal ultrasound, bila usia sudah mencapai 18 minggu bisa dilakukan pemeriksaan cairan amniotic dengan PCR atau sesegera mungkin jika sudah layak. Jika hasil pemeriksaan PCR negatif dan ultrasound  negatif maka dilanjutkan dengan spiramicyn sampai dilahirkan, jika pemeriksaan PCR positif dan atau ultrasound  positif maka dilanjutkan dengan spiramycin, asam folat, pyrimethamine, sulfadiazine sampai dilahirkan. Jika usia kehamilan lebih dari 18 minggu berikan asam folat, pyrimethamine, sulfadiazine, perlu diperiksa fetal ultrasound, bila usia sudah mencapai 18 minggu bisa dilakukan pemeriksaan cairan amniotic dengan PCR atau sesegera mungkin jika sudah layak. Jika hasil pemeriksaan PCR negatif dan ultrasound  negatif, yakinkan beralih ke spiramycin atau tetap menggunakan asam folat, pyrimethamine, sulfadiazine sampai dilahirkan, jika pemeriksaan PCR positif dan atau ultrasound  positif maka dilanjutkan dengan spiramycin, asam folat, pyrimethamine, sulfadiazine sampai dilahirkan.
Management Toxoplasmosis

Beberapa obat yang digunakan pada wanita hamil yang dicurigai atau menderita infeksi toxoplasma gondii selama kehamilan diantaranya :

1.         Spiramicyn, dosis 1 gram (3 juta unit) tiap 8 jam, tidak teratogenik; tidak mengobati infeksi pada janin, diindikasikan untuk wanita hamil yang diduga memperoleh infeksi pada 18 minggu kehamilan. Pengobatan spiramicyn harus dilanjutkan sampai melahirkan pada wanita dengan kecurigaan rendah infeksi janin atau mereka dengan hasil negatif berdasarkan PCR cairan ketuban dan temuan negatif pada ultrasound
2.         Pyrimethamine, sulfadiazine, asam folinic, dosis pyrimethamine : 50 mg tiap 12 jam selama 2 hari diikuti dengan 50 mg tiap hari, sulfadiazine : dosis awal 75 mg/kg diikuiti 50 mg/kg tiap 12 jam maksimum 4 g/ hari, asam folinic : 10-20 tiap hari selama dan 1 minggu setelah pemberian terapi pyrimethamine. Pyrimetamine adalah teratogenik, karena itu, kombinasi ini tidak boleh digunakan sebelum 18 minggu kehamilan (di beberapa pusat di Eropa, digunakan pada awal pekan 14-16). Diindikasikan untuk perempuan yang dicurigai infeksi diperoleh pada 18 minggu kehamilan dan orang-orang dengan infeksi janin didokumentasikan (hasil positif PCR cairan ketuban) atau temuan USG abnormal sugestif dari bawaan toksoplasmosis, diberikan saat pasien berada di 18 minggu kehamilan.

8. Pencegahan
Pencegahan infeksi Toxoplasma Gondii dapat dilakukan dengan dua cara yakni pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk pencegahan primer  infeksi Toxoplasma Gondii selama kehamilan diantaranya :
1.         Masak daging dengan baik atau secara menyeluruh sampai suhu 67°C (153°F), daging  tidak harus "pink" di tengah
2.         Perhatikan bahwa daging yang diasap, direndam dalam air garam, atau kering masih dapat infeksius
3.         Hindari kontak dengan lendir saat memegang daging mentah
4.         Cuci tangan dengan hati-hati setelah kontak dengan daging mentah
5.         Permukaan dapur dan peralatan yang telah kontak dengan daging mentah harus dicuci mengenakan sarung tangan
6.         Hindari dari menguliti atau menyembelih hewan
7.         Hindari kontak dengan bahan yang berpotensi terkontaminasi dengan kotoran kucing, terutama saat menangani kotoran kucing atau berkebun, mengenakan sarung tangan dianjurkan bila kegiatan ini tidak dapat dihindari
8.         Disinfektan kotak sampah kucing yang kosong dengan air mendidih selama 5 menit sebelum mengisi ulang
9.         Cuci buah dan sayuran sebelum dikonsumsi
10.       Hindari minum air yang berpotensi terkontaminasi dengan ookista
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan pemeriksaan serologis untuk mengidentifikasi wanita yang mendapat infeksi T. gondii selama kehamilan, dan jika infeksi janin terdeteksi dengan tes kehamilan, pilihan terapi termasuk penghentian kehamilan dan perawatan antibiotik janin dalam rahim, harus didiskusikan dengan pasien.

C. Toxoplasmosis Penyebab Blighted Ovum
Menurut Raj Raghupathy (2009), selama kehamilan terutama trimester pertama terjadi mekanisme  imunitas  dimana diproduksi sel Th 2 yang berfungsi menghasilkan IL 4 yang membantu diferensiasi Th 2 dan IL 10 yang berfungsi  sebagai antiinflamasi, immunosuppressive cytokine, downregulasi produksi sitokin oleh sel Th 1 dan menghambat respon sel NK. Selain itu juga diproduksi  imunitas Th 1 yang mengaktifkan sel NK, makrofag dan menyebabkan apotosis. Peningkatan aktivitas sel NK dalam darah dan rahim dikaitkan dengan reccurent spontaneus misscarriage dimana terjadi lisis sel-sel trofoblas oleh sel NK dengan pelepasan sitokin inflamasi yang berbahaya bagi trofoblas tersebut. Hill dan Choi berspekulasi bahwa sel-sel di desidua menanggapi invasi trofoblas dengan menghasilkan respon Th 1 yang dapat merugikan pertumbuhan plasenta dini dan dapat menjadi racun bagi perkembangan embrio. Oleh sebab itu, pada wanita yang sering mengalami abortus ditemukan kadar Th 1 lebih besar dibandingkan kadar Th 2 dalam darah.
Menurut Raghed B Al-Fertosi dan Ameenas M Juma (2006), infeksi toxoplasma gondii merangsang kekebalan humoral dengan produksi antibodi, yang mencakup IgM dan IgG, selain itu juga merangsang imunitas yang diperantarai sel. Cell mediated imun sangat penting untuk mengontrol infeksi pada host secara intraselular, sehingga perlindungan terhadap toksoplasmosis dimediasi oleh pertahanan selular. Perlawanan terhadap T. gondii terutama dimediasi oleh sitokin tipe 1, seperti IFN-γ, sedangkan sitokin tipe 2 seperti IL-4 dan IL-10, terkait dengan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Kerentanan dari host hamil untuk toksoplasmosis mungkin karena sitokin tipe 2 yang dipertahankan selama kehamilan. T. Gondii merupakan stimulus kuat sitokin tipe 1. Namun, peran perlindungan sitokin tipe 1 selama infeksi  awal T. Gondii kemungkinan kuat menyebabkan aborsi karena sitokin 1 dapat menyebabkan  reaksi imun berupa peradangan dan berperan dalam mekanisme penolakan  yang menyebabkan aborsi hasil konsepsi. Sedangkan sitokin tipe 2  telah diidentifikasi di plasenta normal dan berhubungan dengan keberhasilan implantasi pada awal kehamilan dan penekanan respon inflamasi lokal.
Bukti dari plasenta murine dan kehamilan menunjukkan bahwa sejak sitokin jenis Th 1 memediasi keguguran, sebuah pergeseran ke arah imunitas tipe Th 1 selama infeksi T. Gondii dapat membantu untuk menjelaskan kegagalan kehamilan. Dengan demikian, cukup banyak bukti menunjukkan bahwa sitokin Th 1 mungkin akan terlibat dalam pengaruh buruk dalam kehamilan, secara langsung dengan mengganggu fungsi dan kelangsungan hidup trofoblas, dan secara tidak langsung dengan mengaktifkan sel- cell-mediated immune effecters.
Bukti-bukti telah menerangkan kemungkinan peran  IFN ɣ di wanita hamil selama infeksi T. gondii dan menunjukkan bahwa ada peningkatan konsentrasi IFN ɣ di plasenta ketika ada respon yang dominan yang kuat Th 1 terhadap T. gondii yang mengakibatkan aborsi. IFN ɣ  akan menarik TNF α yang menghambat proliferasi sel trofoblas manusia in vitro dan toksik untuk sel-sel trofoblas manusia. Selanjutnya, IFN ɣ dan TNF α menginduksi apoptosis dalam sel trofoblas dengan peningkatan ekspresi Fas dan meningkatkan sensitivitas trofoblas untuk apoptosis Fas-mediated. Apoptosis dimulai ketika Fas diungkapkan pada permukaan limfosit dan kontak Fas pada sel plasenta. Setelah interaksi Fas-Fas L terjadi, serangkaian caspases yang sudah diaktifkan  membelah substrat dan  melalui tindakan nucleases menurunkan DNA selular dan menghasilkan sel "bunuh diri". Di samping itu, IFN ɣ meningkatkan produksi NO oleh sel trofoblas. NO juga telah terlibat sebagai pemicu apoptosis selama infeksi T. gondii. Mekanisme dimana NO menginduksi apoptosis tidak jelas, tetapi dapat melibatkan efek pembentukan peroxynitrite dari NO dan superoksida dalam mitokondria. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan pada sel  plasenta terutama sel trofoblas atau target fetoplacental lainnya mengakibatkan kematian inembryo dan resorpsi. Toksoplasmosis akut menyebabkan peradangan plasenta dan inflamasi yang menarik sitokin seperti limfosit, makrofag, dan neutrofil. Hal ini dapat mendukung teori yang menyatakan terjadinya  peningkatan IFN- ɣ dalam sel troflobas yang memyebabkan hiper induksi IFN-ɣ  ditemukan selama abortus yang disebabkan toxoplasmosis.
Menurut Alan Serman dkk (2006), pada blighted ovum juga terdapat perubahan pola glikosilasi protein plasenta dimana  terdeteksi  cabang olygosaccharide dengan metode Western-blot menggunakan lektin yakni SNA dan PHA-E, setelah awal pemisahan protein dengan elektroforesis SDS-PAG terputus-putus. Ekspresi yang lebih kuat muncul dari GP74 teridentifikasi dalam blighted ovum pada awal minggu kehamilan kesebelas (dengan PHA-E), dibandingkan  plasenta normal. Hasil yang sama diperoleh untuk GP25 yang lebih kuat di blighted ovum pada akhir minggu kesebelas (dengan SNA) dibandingkan plasenta normal. Menurut Silvia Botero dkk (2006), hal ini terkait dengan kemampuan parasit, virus, dan bakteri mengikat glycan permukaan sel sebagai cara perlekatan pada membran sebelum invasi, yang dalam hal ini adalah T. Gondii. Perubahan pola glikosilasi ini dapat menyebabkan perubahan pada membran menjadikan membran mudah menarik sitokin dan meningkatkan kerentanan membran sehingga mempercepat kehancuran sel host.


Kesimpulan
1.         Blighted Ovum merupakan keadaan di mana terdapat gestational sack tetapi tidak ditemui janin maupun yolk sack didalamnya. Keadaan ini terjadi karena adanya keguguran di saat umur kandungan masih sangat muda diakibatkan oleh adanya infeksi TORCH salah satunya toxoplasmosis
2.         Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi obligat intraselular protozoa yakni Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii menginduksi respon kekebalan tubuh tipe 1 yang kuat yakni T-cell-mediated. Saat respon imun berlangsung dan terdapat respon yang dominan kuat Th 1, terjadi peningkatan IFN γ di plasenta, yang disekresikan oleh antigen-spesifik T-sel, membatasi replikasi takizoite kemudian akan menarik TNF α yang menghambat proliferasi sel trofoblas manusia in vitro dan toksik untuk sel-sel trofoblas manusia. Di samping itu, IFN ɣ juga meningkatkan produksi NO oleh sel trofoblas dan memicu apoptosis. Mekanisme dimana NO menginduksi apoptosis tidak jelas, tetapi dapat melibatkan efek pembentukan peroxynitrite dari NO dan superoksida dalam mitokondria. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan pada sel plasenta terutama sel trofoblas atau target fetoplacental lainnya mengakibatkan kematian inembryo dan resorpsi. Mekanisme imunitas inilah yang dapat menyebabkan terjadinya blighted ovum.
3.         Pada blighted ovum juga terdapat perubahan pola glikosilasi protein plasenta dimana toxoplasmosis juga dapat mengikat glycan permukaan sel sebagai cara perlekatan pada membran sebelum invasi sehingga menyebabkan perubahan pola glikosilasi pada membran menjadikan membran mudah menarik sitokin dan meningkatkan kerentanan membran sehingga mempercepat kehancuran sel host.
4.         Toxoplasmosis yang menjadi penyebab blighted ovum secara pasti belum diketahui, tetapi beberapa penelitian menunjukkan kemungkinan adanya beberapa mekanisme imunitas seluler  yang dihubungkan dengan terjadinya blighted ovum.

Daftar Pustaka
Alan Serman, Ljiljana Serman. 2006. Glycosylation Pattern Of Placental Proteins In Blighted Ovum. Department of Gynaecology and Obstetrics, General Hospital Sveti Duh Faculty of Medicine, Institute of Biology,University of Zagreb Gynaecol Perinatol ;15(4):183–186.
Beghetto, E., Buffolano, W., Spadoni, A., Del Pezzo, M., Di Christina, M., Minenkova, O., Petersen, E., Felici, F. Gargano, N. 2003. Use of an immunoglobulin G avidity assay based on recombinant antigens for diagnosis of primary Toxoplasma gondii infection during pregnancy. Journal of Clinical Microbiology 41:5414-8.

Bhopale, G.M. 2003. Pathogenesis of toxoplasmosis. Comparative Immunology, Microbiology & Infectious Diseases. 26: 213-222.
Carruthers, V.B. 2002. Host cell invasion by the opportunistic pathogen Toxoplasma gondii. Acta Tropica. 81: 111-122.

Dubey, J.P., Lindsay, D.S., Speer, C.A. 1998. Structures of Toxoplasma gondii tachyzoites, bradyzoites, and sporozoites and biology and development of tissue cysts. Clinical Microbiology Reviews. 11: 267-299.

Goldsby, R.A., Kindt, T,J. Osborne, B.A. and Kuby, J. (2003) Immunology, 5Th Ed. W.H. Freeman and Company, 41 Madison Avenue, New York.

James W. Ajioka, Jennifer M. Fitzpatrick, Christopher P. Reitter. 2001. Toxoplasma gondii genomics: sheddinglight on pathogenesis and chemotherapy. University Lecturer, Department of Pathology, University of Cambridge, Tennis Court Road. Cambridge University Press

Jose G. Montoya and Jack S. Remington. 2008. Management of Toxoplasma gondii Infection during Pregnancy. Palo Alto Medical Foundation Toxoplasma Serology Laboratory, Palo Alto, and Department of Medicine and Division of Infectious Diseases and Geographic Medicine, Stanford University School of Medicine, the Infectious Diseases Society of America.

Raghed B AL-Fertosi Ameena S. M. Juma. 2006. Possible Cellular Expression Of  IFN-γ In Women With Abrtion  Infected With Toxoplasma Gondii Microbiology Department, College of Medicine, Al-Nahrain University Medical Journal of Islamic World Academy of Sciences 16:3, 121-134.
Silvia Botero-Kleiven, MD. 2006. Identification of new proteins and biological processes in the apicomplexan Toxoplasma gondii. Department of Microbiology, Tumor- and Cell Biology (MTC) Karolinska Institutet, Stockholm, Sweden

2 komentar:

  1. kebetulan sekali saya menemukan blog ini. saat ini saya sdg program hamil. saya pernah cek hasilnya tokso IgG +236, IgM-0,41. Rubella IgG -0, IgM -0,35. dan CMV IgG +77, IgM 0,12. saya pernah meminum spiramycin kalo tidak salah 3 minggu minum 2 minggu berhenti selama dua periode tapi kemudian berhenti karena menurut dokter yg lain, saya tidak perlu meminumnya karena IgG + dan IgM -. disamping itu saya juga di beri resep Acyclovir.
    menurut Ferry, sebaiknya apabila saat ini saya berencana hamil, apakah baik kalo saya meminum spiramycin dan asam folat dari sekarang? terus terang saya belum cek lagi, dan berencana akan segera cek kembali.
    terimakasih banyak sebelumnya atas masukannya..

    BalasHapus
  2. saya baru mengalami keguguran dan ke dua kalinya dikarenakan Bo kemungkinana
    karena saat di usg hasilnya sama baru terlihat kantung.nya saja dan janin belum terlihat, menurut ferry apakah saya terkena toxoplasmosis?
    dan sekarang saya harus berbuat apa
    apabila ingin program hamil yang ke tiga agar kehamilan saya sehat, dan normal? terimakasih banyak

    BalasHapus